Senin, Maret 03, 2008

Perang adalah jihad terbesar

Perang Adalah Jihad Terbesar.

Belakangan ini semakin banyak pihak yang menyatakan jihad dengan makna syar'i (perang) bukanlah jihad yang paling utama. Dengan berbagai dalil, mereka mencoba memperkuat pendapatnya, sebuah pendapat yang sama sekali tidak pernah dikenal salafush sholih. Ada yang mengatakan da'wah, perjuangan diplomasi dan menjadi oposisi lewat jalur MPR / parlemen merupakan jihad terbesar, dengan hadits orang yang mengatakan kebenaran di hadapan pemerintah yang dzalim. Padahal jelas sekali banyak ayat dan hadits yang menerangkan jihad dengan makna syar’i perang adalah jihad yang paling utama dan tinggi, seperti firman Allah ta’ala :
لَا يَسْتَوِي اْلقاَعِدُوْنِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ غَيْرُ أُوْلِي الضَّرَرِ وَاْلمُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ بِأَ‎مْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ اْلمجُاَهِدِيْنَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى اْلقَاعِدِيْنَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ اْلمُجَاهِدِيْنَ عَلىَ اْلقَاعِدِيْنَ أَجْرًاعَظِيْمًا * دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْماً.

“ Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk ( tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orqng-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang –orang yang duduk satu derajat, kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik ( syurga) dan Allah melebihkan orang–orang yang jihad atas orang–orang yang duduk dengan pahala yang besar. Yaitu beberapa derajat, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”( An Nisa 95-96 )
يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمُُ مُّقِيمٌ . خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا إِنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمُُ

“Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal” (At Taubah ; 21-22 )

Keterangan : Orang yang berjihad diutamakan atas orang yang duduk-duduk ( tidak berjihad ). Bisa jadi orang yang duduk-duduk ini melakukan jihad dakwah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad melawan hawa nafsu dan setan, karena Allah juga menjanjikan bagi mereka pahala dan kebaikan. Namun demikian tetap saja Allah melebihkan yang berjihad dengan derajat, maghfirah dan rahmat-Nya. Ini menunjukan jihad dengan makna perang adalah jihad terbesar dan paling utama. Hal ini juga menunjukkan bahwa makna jihad secara syar'i adalah perang, bukan dakwah dst.

Rasulullah bersabda :
رَأْسُ اْلأَمْرِ الِإسْلَامُ وَعُمُوْدُهُ اَلصَّلَاةُ وَ ذَرْوَةُ سَنَامِهِ اَلْجِهَادُ.

" Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad." [52]

Keterangan :Dalam hadits ini Rasulullah menempatkan jihad dengan makna perang sebagai amalan paling tinggi dalam Islam, kenapa makna perang? Karena shalat sendiri adalah jihad, namun beliau tidak menyebutnya dengan jihad. Dengan demikian, jihad di sini adalah perang.
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْللِإْيمَانِ.

"Siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangan, bila tidak mampu hendaklah dengan lisan, bila tetap tidak mampu hendaklah dengan hati dan itulah selemah-lemah iman." [53]

Keterangan : Kemungkaran yang paling besar di muka bumi ini adalah adanya kekafiran dan kesyirikan. Hadits ini menjelaskan tingkatan merubah kemungkaran mulai dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah. Idealnya, merubah adalah dengan tangan. Kalau tidak bisa maka dengan lisan, kalau tetap tidak bisa maka dengan hati. Merubah dengan tangan termasuk di dalamnya adalah jihad. Dengan demikian, jihad dengan artian perang lebih utama dari jihad da'wah, jihad melawan hawa nafsunya sendiri dan sebagainya. [54] Juga hadits Ibnu Mas’ud tentang amar ma;ruf nahi mukar di atas, telah sebutan yang paling tinggi adalah amar makruf dengan tangan, termasuk di dalamnya jihad.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata,” Dikatakan kepada Rosululloh saw,” Wahai Rosululloh, orang bagaimanakah yang paling utama ?” Rosululloh saw. Menjawab,” Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Mereka bertanya lagi,” Kemudian siapa?” Beliau menjawab,” Seorang mukmin yang (menyendiri) berada dalam suatu lembah, takut kepada Alloh dan meninggalkan manusia karena kejahatan mereka .” [55]

Imam Ibnu Daqiq al 'Ied berkata," Qiyas menuntut jihad menjadi amalan dengan kategori wasilah yang paling utama, karena jihad merupakan sarana untuk meninggikan dan menyebarkan dien serta memadamkan kekafiran, sehingga keutamaannya sesuai dengan keutamaann hal itu. Wallahu A'lam." [56]

Dari Abu Huroiroh ra. Beliau berkata,“ Datang seseorang kepada Rosululloh saw. Lalu berkata,” Tunjukkan padaku sebuah amalan yang bisa menyamai jihad !!” Beliau menjawab,”Aku tidak mendapatkannya. Apakah kamu mampu apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk masjid lalu sholat dan tidak berhenti dan kamu shaum dan tidak berbuka?” Orang tersebut berkata,” Siapa yang mampu melakukan hal tersebut???” Abu Huroiroh berkata,” Sesungguhnya bermainnya kuda seorang mujahid itu dicatat sebagai beberapa kebaikan.” [57]

Imam Ibnu Hajar berkata," …(Hadits) ini merupakan keutamaan yang jelas bagi mujahid fi sabilillah, yang menuntut tak ada amalan yang menyamai jihad." [58]
قَالَ قَتَادَةُ : سَمِعْتُ أَنَسَ بْنِ مَالِكِ عَنْ النَبِيِ قَالَ: مَا أَحَدٌ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِليَ الدُّنْيَا وَ لَهُ مَا عَلَى اْلأَرْضِ مِنْ شَيْئٍ إِلَّا الشَهِيْدُ يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَيَقْتُلْ عَشْرَ مَرَاتٍ لَمَا يَرَى مِنْ الْكَرَامَةِ.

Qatadah berkata,” Saya mendengar Anas bin Malik dari Nabi beliau bersabda,” Tidak ada seorang pun masuk surga yang ingin kembali ke dunia padahal ia mempunyai (di surga) seluruh apayang ada di dunia, kecuali orang yang mati syahid. Ia berangan-angan kembali ke dunia dan terbunuh sepuluh kali, karena ia mengerti keutamaan (bila mati syahid di medan perang).” [59]

Hadits ini juga diriwayatkan oleh imam An Nasa’I dan al Hakim. Imam Ibnu Bathal berkata,”Hadits ini merupakan hadits yang paling agung dalam menerangkan keutamaan mati syahid. Tidak ada amal kebaikan yang di dalamnya nyawa diprtaruhkan selain jihad, karena itu pahalanya pun besar.” [60]

Berkaitan dengan makna jihad ini, ada kekhawatiran mendalam yang kadang-kadang (dan sayangnya ini sudah menjadi realita) perluasan makna syar’i jihad dari perang menjadi thalabul ilmi juga jihad, tashfiyah juga jihad, dakwah juga jihad, membangun ponpes dan madrasah juga jihad, menyantuni anak yatim juga jihad, berjuang lewat parlemen/jalur konstitusi juga jihad dst ini dijadikan alasan untuk mencukupkan diri/ organisasi/ jam’iyah/ partai/ jama’ahnya dengan bidang yang digelutinya, tidak mengadakan i’dad (persiapan secara militer untuk jihad dengan makna syar’i perang) dengan beralasan bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah jihad. Lebih buruk lagi bila ditambah dengan menuduh orang yang mengartikan jihad dengan perang lalu mengadakan i’dad (persiapan militer) sebagai orang picik, tak berwawasan luas, teroris, merusak medan dakwah dll. Inilah yang mengundang kritik banyak ulama yang berusaha keras meluruskan berbagai penyimpangan ini.

Sebenarnya perselisihan yang terjadi dalam masalah ini, tidaklah berbahaya kalau hanya ikhtilaful lafdzi (perbedaan dalam menggunakan istilah) saja. Artinya masing-masing pendapat tidak meninggalkan amalan yang dilakukan oleh yang lain, dan juga tidak mencampur adukkan dalil. Misalnya menggunakan dalil-dalil keutamaan perang untuk dakwah begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, perselisihan ini tidak menimbulkan perselisihan dalam beramal, kecuali pada masalah-masalah yang memang masih diperbolehkan untuk berijtihad dan berselisih pendapat. Sehingga yang berjihad dengan makna syar’i ( perang ) tidak mengabaikan dan meremehkan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, begitu juga sebaliknya yang tidak berjihad tidak mengabaikan dan meremehkan kewajiban perang melawan orang-orang kafir. Wallahu A’lam.
B. Jihadun nafs dan jihadusy syaithon.

Selain mengartikan jihad dengan berbagai amalan di luar perang melawan orang kafir, di kalangan kaum muslimin juga tersebar luas pemahaman bahwa perang melawan musuh adalah jihad ashghor sedangkan jihadun nafs adalah jihad akbar.

Dalil yang dijadikan sandaran adalah :

* Hadits :
قَدَمْتُمْ خَيْرَ مُقَدَّمٍ وَقَدَمْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ هَوَاُه

“Kalian datang sebagai sebaik-baik pendatang, dan kalian datang dari jihad ashghor menuju jihad akbar yaitu jihad melawan hawa nafsu.” Dalam riwayat lain :
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى اْلجِهَادِ الَأكَْبَرِ قاَلُوْا وَمَا جِهَادُ الْأَكْبَرِ قَالَ جِهَادُ الْقَلْبِ أَوْ جِهَادُ اْلَنَفْسِ

* Hadits :

وَاْلمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِى طَاعَةِ اللهِ وَاْلمُهَاجِرُ مَ[61]نْ هَجَرَ مَا نَهَي عَنْهُ

” Mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam rangka ta’at kepada Allah dan muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan-larangan Allah” [62]

* Perkataan Imam Ibnu Qoyyim,“ Oleh karena jihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir itu adalah cabang dari jihad nafs karena Allah, sebagaimana sabda Nabi,”Mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam rangka ta’at kepada Allah dan muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan-larangan Allah.” maka jihadun nafs lebih didahulukan dari melawan musuh yang dhohir, dan jihadun nafs adalah pokok dari pada jihad kuffar karena siapa belum berjihad melawan hawa nafsunya dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya serta memerangi hawa nafsu karena Allah dia tidak akan mampu untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir. Bagaimana mungkin dia mampu berjihad melawan musuh Allah, sedang musuh yang mengusai dirinya saja belum ia perangi ? Ia tidak akan mungkin mampu keluar pergi berjihad melawan musuh Allah sampai ia berjihad menundukkan hawa nafsunya sehingga mau keluar melawan musuh-musuh Allah. Seorang hamba diuji untuk berjihad melawan kedua musuh ini (musuh yang lahir dan bathin). Di antara kedua musuh tersebut masih ada lagi musuh ketiga, ia tidak akan mungkin memerangi kedua musuh tersebut kecuali bila dia (telah) bisa melawan musuh yang ketiga yang melemahkan semangatnya, menakut-nakuti dan selalu membuat khayalan baginya betapa beratnya jihad melawan keduanya dan hilangnya seluruh kesenangan. Ia tidak mungkin berjihad melawan kedua musuh tersebut musuh tersebut kecuali setelah melawan musuh yang ketiga ini. Karena itu jihad melawan musuh yang ketiga ini pokok dari jihad melawan kedua musuh di atas. Musuh yang ketiga ini adalah syaithon. Allah berfirman,“Sesungguhnya syaithon itu musuh bagi kalian maka jadikanlah ia sebagai musuh.” Perintah untuk menjadikan syaiton sebagai musuh adalah peringatan supaya mengerahkan segala kemampuan untuk memeranginya, karena syaithan (merupakan) musuh yang tidak pernah berhenti untuk memerangi hamba setiap detak nafas, dengan demikian maka sebenarnya seorang hamba diperintah untuk memerangi tiga musuh ini.”[63]

Jawaban Atas Pernyataan Ini :

1. Hadits pertama begitu terkenal di masyarakat kita. Untuk menjawabnya kita serahkan kepada para ulama pakar hadits. Komentar Ulama’ hadits tentang hadits ini ;

Para ulama hadits yaitu imam Ibnu Mu’in, Al Baihaqi, Al-‘Iroqi dan Al Suyuti menyatakan bahwa sanad hadits ini dhoif sekali, bahkan sebagian ulama hadits lainnya seperti Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah menyatakan hadits ini hadits palsu :

Imam Al Iraqy berkata dalam takhrij Ihya’ Ulumi al Dien 2/6,”Diriwayatkan oleh Al Baihaqy dalam kitab al Zuhdu dari riwayat Jabir, sanad hadits ini lemah.”

Imam Ibnu Hajar dalam takhrij al Kasyaf 4/114 berkata,” Hadits ini dari riwayat Isa bin Ibrahim dari Yahya bin Ya’la dari Laits bin Abi Sulaim. Ketiga perawi ini lemah. Juga diriwayatkan oleh an Nasa’i dalam kitab al Kuna dari perkataan Ibrahim bin Abi Ablah, seorang tabi’in dari Syam.”

Dalam Tasdidu al Qaus, beliau juga berkata,” Hadits ini begitu terkenal di kalangan mansyarakat, (padahal) merupakan perkataan Ibrahim bin Abi Ablah, dalam kitab al Kuna karangan imam an Nasa’i.”

Syaikh Zakaria al Anshari dalam Ta’liq atas tafsir al Baidhawi menyatakan bahwa imam Ibnu Taimiyah berkata tentang hadits ini,” Tidak ada asalnya (hadits palsu).” Ibnu Hajar berkata tentang perawi Yahya bin Al Ala,” Dia tertuduh memalsukan hadits.” Imam Ad Dzahabi berkata,” Imam Abu Hatim berkata,“Dia tidak kuat periwayatannya.” Imam Ad-Daruqutni berkata,”Dia matruk (tertuduh memalsu hadits).” Imam Ahmad berkata,” Dia adalah kadzdzaab ( pembohong/ pemalsu hadits).” Syaikh Nashirudin al Albani menyatakan hadist ini munkar (sangat lemah).[64]

Syaikhul Islam imam Ibnu Taimiyah berkata,” Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian orang bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Salam datang dari perang Tabuk dan bersabda,”Kita kembali dari al jihad al asghar menuju al jihad al akbar,”maka tidak ada asalnya (hadits palsu) dan tak seorang ulama hadits pun yang meriwayatkannya. Jihad melawan orang-orang kafir adalah seutama-utama amalan bahkan amalan paling utama yang dikerjakan oleh manusia.” Allah Ta’ala berfirman :
لاَ يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا {95}

“ Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar [ Q S An Nisa` : 95 ].
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَآجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللهِ لاَيَسْتَوُونَ عِندَ اللهِ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ {19} الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللهِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَآئِزُونَ {20} يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمُُ مُّقِيمٌ {21} خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا إِنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمُُ {22}

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah. Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. (20) Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. (21) Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, (22) mereka kekal di dalanya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.[Q S At Taubah: 19-22 ]. Beliau kemudian menyebutkan beberapa hadits yang menerangkan keutamaan jihad melawan orang kafir sebagai amalan yang paling utama.[65]

Seperti disebutkan Imam Ibnu Hajar dan imam Adz Dhahabi, riwayat di atas bukanlah hadits melainkan perkataan seorang sighoru tabi’in bernama Abu Ishaq Al ‘Uqaili Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Seorang tabi’it tabi’in bernama Muhammad bin Ziyad Al Maqdisi berkata,” Saya mendengar Ibnu Abi ‘Ablah berkata kepada orang yang kembali dari medan perang,” Kalian telah datang dari jihad asghar. Lantas apa yang kalian kerjakan dalam jihad akbar, yaitu jihadul qalb ?”[66] Imam Al Hakim berkata,” Saya bertanya kepada Imam ad Daruquthni,” (Bagaimana status ) Ibrahim bin Abi ‘Ablah ?” Beliau menjawab,” Jalan-jalan (sanad) kepadanya tidak bersih meskipun ia sendiri seorang yang tsiqah.” [67]

Hadits pertama ini jelas tidak bisa dijadikan landasan pernyataan jihad melawan hawa nafsu adalah jihad paling utama dan terbesar, karena jelas sanadnya sangat lemah atau bahkan hadits palsu serta bertentangan dengan nash-nash Al Qur’an dan As Sunah. Memang melawan hawa nafsu dan senantiasa beramal sholih merupakan suatu kewajiban bagi setiap mujahid karena kemenangan dalam medan perang selalu berasal dari amal sholih, sebagaimana dikatakan shahabat Abu Darda’,” Kalian berperang (bermodalkan) amal kalian.”[68] Namun demikian, jihad yang paling besar dan paling utama adalah perang melawan musuh-musuh Islam sebagaimana ditegaskan oleh Al Qur’an dan As Sunah, seperti yang diterangkan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

2. Hadits kedua adalah hadits yang shahih. Cara memahami hadits ini sudah dijelaskan dalam keterangan terdahulu tentang cara memahami hadits-hadits yang menerangkan amal yang paling utama. Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Hajar, jawaban nabi ini disesuaikan dengan kondisi si penanya atau kondisi waktu dan tempat saat itu. Barangkali si penanya masih bergelimang dosa, sehingga nabi menyatakan kepadanya bahwa berjuang mengalahkan hawa nafsu itu jihad terbesar baginya.

Di sini akan kita ketengahkan penjelasan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang hadits ini. Beliau menjelaskan bahwa wali-wali Allah tidak mempuyai cirri khusus yang membedakan dengan hamba-hamba Allah lainnya. Wali Allah adalah orang yang bertakwa, sementara Al Qur’an dan As Sunah menunjukkan bahwa manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling bertakqwa. Kemudian beliau mengatakan :

” Lafal al faqru (faqir) dalam syar’i kadang bermakna faqir (membutuhkan) harta dan kadang bermakna makhluk faqir (membutuhkan) Rabbnya. Sebagaimana Allah berfirman :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ {60}

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana. [QS. Al Taubah : 60].

Allah juga berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاُس أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللهِ

” Wahai manusia, kalian faqir (membutuhkan) Allah.”

Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala telah memuji dua golongan fuqara’ yaitu: orang yang menerima sedekah dan orang yang menerima fa’i. Allah berfirman tentang kelompok fakir yang pertama:
لِلْفُقَرَآءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي اْلأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَآءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْئَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَاتُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ

” (Berinfaqlah) Bagi para faqir yang tertahan di jalan Allah (jihad), mereka tidak dapat berusaha di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka itu orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta…” )Al Baqarah :273(

Sedang bagi yang kedua yang merupakan kelompok yang lebih utama, Allah berfirman:
لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا وَيَنصُرُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

” Bagi para faqir yang berhijrah, yang diusir dari negerinya dan dari harta bendanya karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya serta menolong Allah dan Rassul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” )Al Hasyr: 8(

Inilah sifat muhajirin yang berhijrah meninggalkan kejahatan dan berjihad melawan musuh-musuh Allah secara lahir dan batin. Sebagaimana sabda Nabi,” Orang mukmin itu orang yang darah dan harta orang lain selamat dari gangguannya, orang muslim itu orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, orang yang berhijrah itu orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah orang yang berjihad itu orang yang berjuang melawan hawa nafsunya demi Allah.” [69]

Dalam penjelasan ini, Syaikhul Islam menerangkan bahwa kaum fuqara’ yang berhijrah dan berjihad melawan orang-orang musyrik lebih utama dari kaum fuqara’ yang berjihad saja tanpa berhijrah. Beliau menyebutkan hadits kedua yang dijadikan landasan oleh sebagian pihak untuk menyatakan jihad melawan hawa nafsu merupakan jihad paling besar dan utama dalam Islam. Jelaslah bahwa orang yang berjihad (dengan makna syar’i yaitu berperang melawan orang-orang kafir) berarti telah berhasil meninggalkan (berhijrah) kemaksiatan dan mengalahkan hawa nafsunya, nafsu cinta dunia, takut mati, sifat pengecut, dan akhlak-akhlak tercela lainnya. Orang yang berperang melawan orang-orang kafir telah menunjukkan kemenangan dia melawan hawa nafsu tersebut, terbukti dengan pencurahan nyawa dan hartanya demi mencapai ridho Allah, mengutamakan rasa cinta, takut dan pengharapan kepada Allah melebihi cinta, takut dan pengharapannya kepada kenikmatan duniawi, menampakkan kesabaran, ketawakalan, ukhuwah dengan sesama umat Islam dan seluruh aspek akhlak terpuji lainnya telah nampak dalam jihadnya melawan orang kafir. Karena itu, jelas perang melawan orang kafir merupakan jihad terbesar karena mencakup jihad lahir dan batin, sebagaimana penjelasan syaikhul Islam.

3- Jawaban atas perkataan imam Ibnu Qayyim. Saat ini banyak kalangan yang memperalat perkataan Imam Ibnu Qayyim untuk menomor sekiankan perang melawan orang kafir. Mereka mengatakan jihad melawan hawa nafsu adalah jihad terbesar dan paling utama. (mereka selalu berfikir) untuk apa memerangi orang kafir kalau hal itu hanyalah jihad asghar, bukankah lebih utama bila mereka jihad melawan hawa nafsunya dan setan ? (mereka selalu berfikir) Mereka tidak akan berjihad melawan orang kafir sampai mereka mengalahkan hawa nafsu, sampai iman dan aqidah mereka seperti iman para shahabat, sampai mereka bersih dari dosa. Untuk itu tidak boleh berjihad sampai mendapatkan tarbiyah dan tasfiyah, sampai akhirnya lulus dari dua program ini.

Imam Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa pokok atau landasan dari jihad melawan orang kafir adalah jihad melawan hawa nafsu dan setan dengan jalan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Orang yang mampu berjihad melawan orang-orang kafir hanyalah orang-orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya. Penjelasan beliau ini dengan jelas menunjukkan bahwa berjihad melawan orang kafir merupakan jihad terbesar dan paling agung, karena hanya bisa diraih oleh orang-orang yang lulus dari jebakan hawa nafsunya.

Untuk memerangi hawa nafsu, imam Ibnu Qayyim menyebutkan tempat tahapan :

a). Berjihad dengan mempelajari din yang haq ( Islam ).

b). Berjihad dengan mengamalkan perintah – perintah agama yang telah dipelajari.

c). Berjihad dengan mendakwahkan agama Islam serta mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu.

d). Berjihad dengan bersabar terhadap rintangan-rintangan dakwah. [70]

Sebagian pihak memperalat penjelasan beliau ini untuk menyibukkan umat Islam dari jihad melawan musuh-musuh Islam dengan alasan memerangi nafsu. Mereka mengharuskan kaum muslimin untuk belajar banyak ilmu dalam jangka waktu yang lama. Mereka mengharuskan umat Islam untuk mengkaji berbagai buku-buku aqidah, fiqih, hadits, akhlak dan ilmu-ilmu lainnya kepada para ulama. Baru setelah mereka menguasai seluruh ilmu ini, mereka kemudian mengamalkan ilmunya, kemudian berdakwah dan bersabar baru kemudian boleh berjihad. Selama belum melewati empat tahapan ini, mereka melarang kaum muslimin untuk berjihad. Akhirnya dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk boleh berjihad.

Untuk itu ke empat tahapan ini perlu didudukkan secara jelas sehingga tidak terdapat lagi kebingungan dalam memahami perkataan imam Ibnu Qayyim. Sesungguhnya ilmu ada dua : yaitu ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap individu muslim) dan ilmu yang hukumnya fardhu kifayah (wajib sebagian kaum muslimin mempelajarinya sampai tertangani secara baik sehingga kewajiban tersebut gugur atas kaum muslimin yang lain).

(1). Ilmu fardhu ‘ain. Ilmu ini juga ada dua jenis:

(a). Ilmu ‘aam atau musytarak iaitu ilmu yang wajib diketahui oleh seluruh umat Islam seperti : rukun-rukun Islam, rukun-rukun iman, hal-hal yang diharamkan secara qath’i dan lain-lain.

(b). Ilmu khash yaitu mempelajari hukum-hukum secara mendetail bagi orang yang wajib atasnya untuk melaksanakannya. Contohnya : Orang yang tidak wajib membayar zakat dan melaksanakan haji karena tidak mempunyai harta yang mencapai nishob dan mencukupi untuk haji, ia tidak wajib untuk mempelajari detail-detail hukum zakat dan haji. Kewajiban mempelajari hukum-hukum haji dan zakat berlaku bagi orang yang memang mempunyai harta yang mencapai nishob dan cukup untuk melaksanakan haji.

(2). Ilmu fardhu kifayah yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh umat sebagai sebuah kesatuan, namun jika sebagian mereka mengerjakannya maka bagi yang mempelajarinya mendapat pahala dan kewajiban mempelajarinya gugur atas sebagian umat Islam yang lain. Namun jika tak ada sebagian yang mengerjakannya maka semuanya berdosa.[71]

Jika hal ini diterapkan dalam orang yang berjihad, maka ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain atasnya adalah ilmu yang ‘am (rukun Islam, rukun iman, hal-hal yang haram dan maksiat). Adapun ilmu yang wajib dipelajarinya adalah mempelajari hukum-hukum jihad yang berkaitan langsung dengan dirinya yaitu hak-hak Allah, hak-hak komandan dan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dalam perang melawan musuh. Adapun hukum-hukum ghanimah, fa’i, tawanan dan perjanjian damai atau gencatan senjata, maka tidak wajib atas dirinya namun wajib atas amir (komandan jihad).[72]

Di bawah ini kita sampaikan perkataan para ulama salaf yang menerangkan hal ini :

Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi berkata,” Barang siapa wajib atasnya haji dan zakat misalnya, kewajiban iman yang harus ia kerjakan adalah mengetahui apa yang diperintahkan kepadanya dan ia mengimani bahwa Allah mewajibkan atasnya apa yang tidak wajib diimani oleh orang lain (berupa zakat dan haji karena tidak mampu melaksanakannya—pent) kecuali secara mujmal (global). Dalam hal ini ia wajib mengimani secara mufashal (terperinci). Demikian juga seorang yang masuk Islam, kewajiban pertama kali adalah iqrar (membenarkan) secara mujmal. Jika datang waktu sholat ia wajib mengimani kewajiban sholat dan melaksanakannya. Dengan demikian, manusia tidak sama dalam iman yang diperintahkan kepada mereka.”[73]

Imam Syafi’i juga mengatakan,” Ilmu ada dua ; ilmu umum di mana seorang baligh yang sehat akalnya harus mengetahuinya …seperti sholat lima waktu dan Allah mewajibkan atas manusia shaum Ramadhan dan haji jika mampu serta zakat harta mereka, dan Allah mengharamkan atas mereka perbuatan zina, membunuh, mencuri dan minum khamr dan kewajiban yang semakna dengan hal ini di mana para hamba dikenai beban memahami, mengamalkan dan mencurahkan dari nyawa dan harta mereka, serta menahan diri dari apa yang diharamkan atas mereka.

(Kemudian beliau berkata tentang fardhu kifayah) :

“ Derajat ilmu ini tidak menjadi kewajiban seluruh manusia dan setiap individu. Siapa pun individu mampu mencapainya maka tidak boleh mereka semua menihilkannya (meninggalkannya). Jika sebagian individu sudah melaksanakannya sampai derajat mewakili, maka insya Allah yang lain tidak terkena dosa. Orang yang mengerjakannya mempunyai kelebihan atas yang meninggalkannya.”[74]

Ibnu Abdil Barr mengatakan,” Para ulama telah sepakat bahwa ilmu ada yang hukumnya fardhu ‘ain atas setiap individu dan adapula yang hukumnya fardhu kifayah jika sebagian telah melaksanakannya maka kewajiban melaksanakannya gugur atas masyarakat luas.” Beliau lalu menukil perkataan para ulama salaf dalam hal ini, seperti imam Hasan Al Bashri, Malik bin Anas, Abdullah bin Mubarak, Sufyan bin Uyainah dan Ishaq bin Rahawaih.”[75]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

“ Mencari ilmu syar’i itu fardhu kifayah kecuali dalam hal-hal yang fardhu ‘ain, seperti setiap individu mencari ilmu tentang apa yang diperintahkan dan dilarang Allah atasnya, maka hal seperti ini hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana diriwayatkan oleh kedua imam (bukhari dan muslim –pent) dalam shahihain dari nabi beliau bersabda,” Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia akan dijadikan faqih dalam dien.” Setiap orang yang dikehendaki kebaikan pada dirinya oleh Allah, pasti difaqihkan dalam dien. Barang siapa tidak dijadikan faqih dalam dien maka Allah tidak menghendaki kebaikannya. Dien adalah apa yang rasul diutus dengannya. Itulah yang wajib dibenarkan dan diamalkan oleh setiap orang. Maka setiap orang wajib membenarkan khabar yang diberitakan Rasulullah dan ia wajib mentatinya dalam apa yang diperintahkannya dengan pembenaran yang umum dan ketaatan yang umum. Jika kemudian ada khabar yang tsabit (tegas/jelas keshahihahnnya) maka ia wajib membenarkannya secara tafshili (terperinci/detail), dan jika berupa perintah yang harus dikerjakan maka ia harus mentaatinya dengan ketaatan mufashalah (detail).”[76]

Lebih jelas lagi beliau menyatakan :

“ Ilmu-ilmu syar’i ada dua : ilmu ushul (pokok) dan ilmu furu’ (cabang). Ilmu ushul adalah ma’rifatullah dengan keesaan-Nya dan sifat-sifat-Nya dan membenarkan para rasul. Setiap mukallaf wajib mengetahuinya dan ia tidak boleh taqlid karena telah nampak jelasnya tanda-tanda kebesaran Allah. Allah berfirman,” Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada ilah selain Allah.” (QS. Muhammad :19). Allah berfirman,” Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di ufuq dan dalam diri mereka sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Allah adalah haq.” (QS. Fushilat :53).

Adapun Ilmu furu’ adalah ilmu fiqih dan mengetahui hukum-hukum dien. Ini terbagi menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain contohnya ilmu tentang thaharah, sholat dan shaum. Setiap individu wajib mengetahuinya. Rasulullah bersabda,” Menuntut ilmu itu wajib ats setiap individu.” Demikian juga setiap ibadah yang diwajibkan syariat atas tiap individu, wajib hukumnya mengetahuinya seperti ilmu zakat jika ia mempunyai harta dan ilmu haji jika telah wajib atasnya.

Adapun fardhu kifayah adalah mempelajari ilmu yang menyampaikan kepada derajat ijtihad dan fatwa. Jika penduduk sebuah negeri tidak mempelajarinya, mereka semua telah bermaksiat. Jika seorang di antara mereka telah mempelajarinya (dan telah mencukupi—pent) maka kewajiban itu gugur atas yang lain dan mereka semua harus bertaqlid kepada orang tersebut dalam perkara-perkara yang menimpa mereka (di bidang itu---pent). Allah berfirman,” Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl :23).”[77]

Bila penjelasan mengenai ilmu ini sudah dipahami, maka jelaslah cara memahami keterangan imam Ibnu Qayyim di atas, dan jelas pula jawaban atas syubhat jihad hawa nafsu adalah jihad paling agung dan paling utama sehingga seorang muslim tidak boleh berjihad sebelum belajar dan menuntut ilmu ;

- Jika yang mereka maksudkan adalah ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain, maka mempelajari rukun iman, rukun Islam, tauhid, hal-hal yang membatalkan keislaman dan hal-hal yang haram dan maksiat itu mudah tak memerlukan waktu yang lama. Mereka tidak wajib mengetahui dalil-dalilnya secara terperinci. Sebagaimana Imam Al Qurthubi mengatakan,” Inilah pendapat para imam-imam pemberi fatwa dan para imam salaf sebelum mereka, dan sebagain mereka berhujah dengan pendapat yang telah lewat berupa pokok-poko fithrah dan juga berdasar riwayat mutawatir dari Rasulullah kemudian para shahabat bahwa mereka menghukumi keislaman orang yang masuk Islam dari penduduk arab pedalaman yang semula menyembah berhala. Mereka menerima dari penduduk arab tersebut pengakuan mereka dengan dua kalimat syahadat dan iltizam (komitmen) dengan hukum-hukum Islam tanpa mewajibkan mereka mempelajari dalil-dalinya.” [78] Hal ini juga diterangkan oleh imam An Nawawi[79] dan para ulama lain.[80]

- Jika yang mereka maksudkan adalah ilmu-ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain sehingga seorang muslim tidak boleh berjihad sampai menguasai kadar tertentu dari ilmu-ilmu syar’i, maka ini jelas batil karena :

(a) Merubah hal yang hukumnya fardhu kifayah menjadi fardhu ‘ain. Akibatnya meniadakan maslahat bagi umat Islam dengan memerintahkan mereka semua untuk belajar. Ini jelas bertentangan dengan firman Allah :

وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

_ Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya._ [QS. At Taubah :122]. Ayat ini membagi umat Islam menjadi dua kelompok : kelompok yang belajar dan kelompok yang tidak belajar, seperti firman Allah :
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
套maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui._ [QS. An Nahl :43, Al Anbiya’ :7]. Ayat ini menunjukkan kewajiban orang yang tidak mengerti (awam, kelompok yang tidak belajar) adalah bertanya kepada kelompok yang belajar (mutafaqih, ulama). Sementara kewajiban ulama dan mutafaqih adalah menjawab pertanyaan orang yang bertanya. Jika ulama dan mutafaqih melihat orang yang tidak tahu melakukan suatu perbuatan yang salah, maka kewajiban mereka adalah memberi peringatan dan pengertian seperti firman Allah :
وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

套dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya._ [QS. At Taubah :122].
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ

_ Katakanlah,’ Kemarilah, aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan rabb kalian kepada kalian.’ [QS. Al An’am :151].

(b) Menjadikan sesuatu yang bukan syarat jihad menjadi syarat jihad dengan mensyaratkan belajar terlebih dahulu kepada orang yang akan berjihad. Padahal sama sekali tidak ada dalil Al Qur’an dan As Sunah yang menyatakan belajar terlbih dahulu merupakan syarat jihad. Dengan demikian, persyaratan ini adalah bid’ah dholalah. Sirah Rasulullah, para shahabat dan para ulama salaf sesudah mereka juga tidak mensyaratkan menuntut ilmu terlebih dahulu atas setiap muslim yang akan berjihad. Mereka tidak menguji kemampuan ilmu syar’i setiap muslim yang akan berjihad.

Rasulullah bersama 1400 shahabat dalam perjanjian Hudaibiyyah (tahun keenam H), bersama dengan 10.000 shahabat dalam fathu Makkah (tahun 8 H) dan sebulan kemudian beliau menerjuni perang Hunain bersama 12.000 shahabat, 2000 di antaranya adalah kaum Quraisy yang baru masuk Islam seulan sebelumnya. Kapan mereka belajar ilmu-ilmu syar’i kalau keislaman mereka baru berjalan satu bulan ? Apakah Rasulullah menyuruh mereka tinggal di Makkah dan melarang mereka untuk tidak berjihad dengan alas an belum menuntut ilmu syar’i ? Rasulullah justru melibatkan mereka dalam jihad dan mengajari mereka ilmu-ilmu syar’i dalam perjalan jihad, sebagaimana hadits :

Abu Waqid Al Laitsy berkata,” Kami keluar bersama Rasulullah menuju Hunain padahal kami baru saja keluar dari kekufuran. Orang-orang musyrik mempunyai sebatang pohon keramat tempat mereka berkumpul dan menggantungkan senjata, namanya dzatu anwath. Kami melewati pohon semisal, maka kami berkata,” Ya Rasulullah, buatlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka juga mempunyai dzatu anwath.” Maka beliau bersabda,” Allahu Akbar, sesungguhnya hal ini merupakan jalan (umat terdahulu). Demi Dzat yang nyawaku di tangan-Nya, seperti perkataan Bani Israil kepada Musa “ Buatlah untuk kami Ilah (tuhan sesembahan) sebagaimana mereka mempunyai banyak ilah (sesembahan).” –Terjemah QS. Al A’raaf :138—Kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.”[81]

Begitu juga sirah para khulafaur rasyidun. Kaum murtad yang diperangi pada masa kholifah Abu Bakar, mereka langsung dikirim ke medan jihad melawan Romawi dan Persia. Merekalah yang menaklukkan Syam dan Iraq. Khalifah sama sekali tidak memerintahkan kepada mereka untuk menuntut ilmu syar’i terlebih dahulu.

Bahkan kalau ada orang yang tidak mempelajari ilmu-ilmu fardhu ‘ain lantas ia ikut berjihad, ketidak belajarannya tetap tidak menghalangi untuk berjihad. Inilah sunah Rasulullah dan para khalifah selanjutnya :
عَنْ أَبِيْ إِسْحَاقِ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُوْلُ : أَتَى النَّبِيَ رَجُلٌ مُقَنِّعُ بِالْحَدِيْدِ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أُقَاتِلُ أَوْ أُسْلَمْ ؟ قَالَ : أَسْلَمْ ثُمَّ قَاتِلْ. فَأَسْلَمَ ثُمَّ قَاتِلْ فَقُتِلَ,فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ : عَمِلَ قَلِيْلًا وَ أُجِرَ كَثِيْرًا.

Dari Abu Ishaq ia berkata,” Saya mendengar al Bara’ bin Azib berkata,”Seorang laki-laki mendatangi Nabi sedang ia telah memakai helm besi untuk perang dan bertanya,” Ya Rasulullah, saya masuk Islam dulu atau ikut perang dulu?” Beliau menjawab,’ masuklah Islam baru kemudian ikut berperang?” Maka ia masuk Islam dan ikut berperang, sampai akhirnya terbunuh. Maka Rasulullah bersabda,” Ia beramal sdikit dan mendapat anyak pahala.” [82]

Ibnu Ishaq dalam al Maghazi dengan sanad yang shahih menyebutkan bahwa Amru bin Tsabit tidak mau masuk Islam. Ketika terjadi perang Uhud, ia ikut perang sampai terluka parah (padahal masih musyrik). Para shahabatnya (kaum anshar, sudah mukmin) bertanya kepadanya,”Apa yang membuatmu ikut berperang, apakah karena sayang dengan kaummu atau karena ingin masuk Islam?” Maka ia menjawab,” Karena ingin masuk Islam.” Maka Rasulullah bersabda,” Ia termasuk penduduk surga.” Imam Abu Daud dan al Hakim menyatakan ia tidak mau masuk Islam karena menolak pelarangan riba. Ia meninggal dalam perang Uhud dan masuk surga, padahal belum pernah melakukan sekalipun dari kewajiban shalat lima waktu.[83]

Inilah sirah nabawiyah dan khulafaur rasyidin tentang menuntut ilmu bagi orang yang akan berjihad. Bila menuntut ilmu sudah jelas, maka maksud dari mengamalkannya pun sudah terang. Dari sini, jelas sekali bahwa perang melawan orang kafir adalah jihad terbesar dan paling utama. Adapun jihad melawan hawa nafsu maka bisa dikerjakan sebelum, saat sedang dan sesudah berjihad melawan orang kafir. Jadi, orang yang berjihad melawan orang kafir berarti telah berjihad lahir batin menghadapi musuh orang kafir dan musuh setan dan hawa nafsu. Sementara orang-orang yang hanya duduk-duduk belajar ilmu syar’I yang banyak namun tidak kunjung berjihad dengan alas an jihad melawan setan dan hawa nafsu, tarbiyah dan tashfiyah, mereka itu sebenarnya tidak memahami ilmu apa yang seharusnya dituntut dan bagaimana mereka mengamalkannya. Dengan kata lain, mereka dipermainkan oleh setan dan hawa nafsunya. Wallahu A’lam.

Imam Ibnu Qayim menyebutkan 7 tingkatan jebakan setan yaitu:1) kekafiran. 2) Bid’ah. 3) Dosa besar. 4) Dosa kecil. 5) Menyibukkan dengan hal-hal mubah. 6). Menyibukkan dengan amalan yang kurang utama atass amalan yang lebih utama. 7). Berbagai tekanan, intimidasi fisik dan perang dengan mengerahkan tentara setan, yaitu orang-orang kafir.[84]

Setan mengenal betul skala prioritas (fiqih maratibu al a’mal). Ia memulai menjebak manusia dengan kekafiran, bila gagal dengan bid’ah, bila gagal dengan dosa besar, dst. Seorang muslim yang cerdik akan bisa menyatakan yang pertama kali harus diberantas adalah kekafiran dan kemusyrikan, baru kemudian bid’ah, setelah itu dosa besar, lalu dosa kecil, dst. Hari ini, tak kurang dari 5 milyar umat manusia masih kufur dan musyrik. Bukan itu saja, mereka juga meraja lela di dunia ini dengan mengatur dunia sesuka hati mereka, dengan aturan setan dan menindas serta membantai Islam dan kaum muslimin. Bila seseorang gagal dijebak oleh setan dengan enam jebakan pertama maka ia kan dihadapi setan dengan cara kekerasan, yaitu perang fisik antara wali Allah dan wali setan. Dengan demikian, perang melawan orang-orang kafir merupakan tingkatan yang paling utama dan paling tinggi. Tingkatan tertinggi ini oleh imam Ibnu Qayyim disebut sebagai ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh khawashul ‘arifin. Ubudiyah ini disebut sebagai Ubudiyah Muraghamah, ibadah yang membuat musuh-musuh Allah marah dan takut. Beliau menyebutkan beberapa dalil hal ini, antara lain:

وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي اْلأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غُفُورَا رَّحِيمًا {100}

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. An Nisa’:100], dan surat
مَاكَانَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُم مِّنَ اْلأَعْرَابِ أَن يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللهِ وَلاَيَرْغَبُوا بِأَنفُسِهِمْ عَن نًّفْسِهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لاَيُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلاَنَصَبٌ وَلاَمَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَيَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلاَيَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً إِلاَّ كُتِبَ لَهُم بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللهَ لاَيُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ {120} وَلاَيُنفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلاَكَبِيرَةً وَلاَيَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلاَّ كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللهُ أَحْسَنَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ {121}

“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, (121) dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[At Taubah : 120-121].
مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي اْلإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْئَهُ فَئَازَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فاَسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمَا {29}

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min).Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.[Al Fath: 29].[85]

Memerangi orang-orang kafir adalah salah satu ajaran dinul haq, harus diamalkan dan didakwahkan. Benarkah membersihkan batin dan hati dari maksiat itu lebih utama dari membersihkan bumi dari kesyirikan dan kekafiran ? Membersihkan batin memang penting sekali, sebagai wasilah untuk memebersihkan bumi dari syirik dan orang penganut-penganutnya. Tapi tidak boleh berhenti sampai di tingkatan wasilah saja, kapan ghayahnya dicari?

Sholat itu ghayah, wudhu wasilahnya. Kalau ada orang berwudlu, setiap kali selesai berwudlu, dia ulang lagi dari awal hingga waktu sholat habis dan lewat sedang ia belum sholat, maka ia bermaksiat kepada Allah. Demikian juga dengan jihad melawan orang kafir. Ia berawal dari melawan hawa nafsu dan setan. Namun bukan berarti kalau belum mampu mengalahkan setan dan hawa nafsunya ia tidak boleh berperang. Justrru bila berpikiran demikian, ia telah terjebak dalam jebakan setan karena melawan hawa nafsu dan setan itu sepanjang umur kita. Akhirnya kita tak akan pernah melawan orang kafir dengan alasan iman kita belum benar, aqidah kita belum sekokoh shahabat dst.

Menyibukkan diri dengan jihad melawan hawa nafsu (dengan pemahaman yang salah tadi : tidak memerangi orang kafir sampai mumpuni dalam berbagai ilmu syar’i, sampai imannya betul-betul kokoh), dan menjadikannya alasan tidak berjihad bahkan mengatakan jihad nafs itu jihad akbar, tapi belum pernah terdetik dalam hatinya untuk berperang, merupakan suatu sikap yang sangat berbahaya sekali. Apalagi jika mati dalam keadaan demikian :

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُووَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلىَ شُعْبِةٍ مِنِ النِّفَاَِق

“Barang siapa mati sementara ia belum pernah berperang dan belum pernah terdetik dalam hatinya untuk berperang, maka kalau mati ia mati pada salah satu cabang kemunafikan.”[86]

Dari sini kita akan memahami orang yang berjihad justru merupakan orang yang telah mengalahkan hawa nafsu dan setan, orang yang tidak berjihad tanpa udzur syar’i berarti kalah dengan nafsu dan setan. Inilah makna perkataan Ibnu Qayyim di atas,” siapa belum berjihad melawan hawa nafsunya dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya serta memerangi hawa nafsu karena Allah dia tidak akan mampu untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir. Bagaimana mungkin dia mampu berjihad melawan musuh Allah, sedang musuh yang mengusai dirinya saja belum ia perangi? Ia tidak akan mungkin mampu keluar pergi berjihad melawan musuh Allah sampai ia berjihad menundukkan hawa nafsunya sehingga mau keluar melawan musuh-musuh Allah.” [87]

Dengan jelas sekali, imam Ibnu Taimiyah berkata,” Jihad merupakan puncaknya amal, karena didalamnya mencakup puncak dari segala keadaan yang baik, didalamnya puncak dari kecintaan, sebagaimana firman Allah Ta`ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ {54}

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.[ Q S Al Maidah : 54]. Dan didalamnya puncak dari kesabaran dan tawakkal, dikarenakan mujahid merupakan orang yang paling bersabar dab tawakkal kepada Allah, sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {59}
“(yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Rabbnya.[ Q S Al Ankabut : 59 ].
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ اْلأَرْضَ للهِ يُورِثُهَا مَن يَّشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ {128}

溺usa berkata kepada kaumnya:"Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa".[ Q S Al A`raf : 128 ]. Oleh karena itu sabar dan yakin merupakan sumbernya tawakkal.untuk itu jihad mengharuskan bagi pelakunya untuk mendapatkan hidayah, sebagaimana firman Allah Ta`ala :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ {69}
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.[ Q S Al Ankabut : 69]. Oleh karena itu Imam Abdullah bin Mubarak dan Ahmad bin Hambal dan yang lainnya berkata : “Jika manusia berselisih didalam sesuatu maka lihatlah (kembalikan) kepada ahli syugur, karena kebenaran ada pada mereka; karena Allah telah berfirman :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ {69}

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.[ Q S Al Ankabut : 69]. Dan didalam jihad pula hakekat zuhud terhadap dunia yang sebenarnya, dan didalamnya hakekat keikhlasan yang sebenarnya, maka orang yang disebut berjihad dijalan Allah, bukanlah yang berperang untuk mendapatkan kekuasaan, harta maupun yang lainnya akan tetapi yang disebut fi sabilillah adalah yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah dan menjadikan dien hanya milik Allah semata.

Tingkatan ikhlas yang paling tinggi dan agung adalah menyerahkan jiwa dan harta untuk yang di ibadahi, sebagaimana firman Allah Ta`ala :
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh
・ Q S At Taubah : 111].[88]

Dari penjelasan Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah diatas, telah jelas bahwa jihad merupakan bentuk tazkiyatun nafs yang paling tinggi dan paling puncak, bentuk jihadun nafsi dan jihadus syaitan. Yang paling sempurna dan utam
a.

Allah berfirman:

لا يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا. درجات منه و مغفرةو رحمة.

“Tidaklah sama antara orang mukmin yang tak mempunyai udzur yang duduk saja (tidak berjihad) dengan mujahidin fi sabililah dengan harta dan nyawa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka atas orang-orang yang duduk saja (tidak berjihad) dengan satu derajat. Kepada masing-masing Allah menjanjikan kebaikan. Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka dengan pahal yang besar. yaitu beberapa derajat, ampunan dan rahmat Allah.”) Al Nisa’: 95-96(

Dalam hadits disebutkan :

إِنَّ فِي اْلجَنَّةِ مِائَةُ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللهُ لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ مَا بَيْنِ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ

” Sesungguhnya di janah ada seratus tingkatan yang disiapkan untuk para mujahidin di jalan Alloh. Jarak antara dua tingkatan sebagaimana jarak antara langit dan bumi.”(Al-Bukhori No. 2790, Tirmidzi no. 2529, Ahmad 2/235). Dalam riwayat Imam A Tirmidzi,” Antara dua derajat selama seratus tahun.” Dalam riwayat Imam Al Thabrani,” lima ratus tahun.”.[89]

Ini baru makna derajat, belum rahmah, maghfirah dan ajrun adzim yang dijanjikan Allah, yang semuanya tertera dalam buku-buku hadits. Dengan demikian, keutamaan yang berperang di jalan Allah jauh di atas orang yang hanya jihadun nafs (tasfiyah, tarbiyah dst) saja tanpa jihad.

Kondisi umat Islam saat ini sama persis dengan kondisi zaman Rasulullah hidup. Umat Islam dibantai di mana-mana, medan jihad terbuka luas. Orang Islam yang mampu mestinya berjihad ke medan perang, bukannya kita haruskan untuk belajar dulu bertahun-tahun sampai aqidah dan ibadahnya lurus. Cara ini sama sekali bertentangan dengan sunah nabawiyah. Justru dengan adanya perang (jihad), masyarakat di tempat jihad yang sebelumnya masih tenggelam dengan kemaksiatan, sama sekali jauh dari aqidah tauhid bisa dibenahi dengan hadirnya sebagian kecil umat Islam yang sudah mengenal tauhid dan ibadah yang benar serta memahami Islam secara baik. Dari sini kita harus membedakan antara teori dengan praktek, antara dirasah aqidah dengan aqidah itu sendiri. Belajar aqidah maknanya mempelajari kitab-kitab aqidah mu’tabarah karangan para ulama salaf, adapun aqidah maka itu terbukti di medan jihad di mana tawakal, khauf, raja’, shabar terbukti. Di medan nyata inilah terlihat siapa yang gugur siapa yang tangguh. Betapa banyak para ulama dan kyiai kita yang pertama kali mengungsi bersama keluarganya dan tak pernah kembali, meninggalkan masyarakat yang awam tak mengenal aqidah dan ibadah yang benar berjuang melawan orang-orang kafir sendirian. Kalau begitu, mana jihadu nafs yang selama ini diteriakkan?.

Justru, orang yang berperanglah yang sesungguhnya berjuang melawan hawa nafsu dan syaithan. Buktinya, ia berjuang agar bisa shabar, tawakal, zuhud, cinta akhirat, tak takut mati, taat kepada pimpinan dalam kebaikan, selalu menjaga darah, harta dan agama kaum muslimin dst. Sedang yang thalabul ilmi dan tasfiyah (amalan-amalan sunah), ia tak akan mengerti betul apa itu sabar, tawakal dst, karena tantangan yang dihadapinya relatif kecil bila dibandingkan mereka yang berjihad melawan musuh dan menantang maut. Ini, sekali lagi bukan mengecilkan arti jihad melawan nafsu dan setan, bukan, namun untuk mendudukkan masalah ini secara proporsional.

4. Sebagaimana disebutkan DR. Idris Muhammad Ismail dan DR. Muhammad Khalid Isthanbuli, pembagian jihad menjadi jihad asghar (melawan orang kafir) dan akbar (melawan hawa nafsu dan setan) ini merupakan musibah terbesar yang ditimpakan musuh-musuh Islam atas jihad fi sabilillah. Mereka mengetahui dengan adanya jihad (perang melawan orang kafir), Islam akan senantiasa jaya dan mengalahkan orang kafir. Karena itu mereka menjebak umat Islam dengan cara halus dan damai, melalui cara ini. Mereka pintar, mengetahui bahwa selama manusia masih hidup ia tak akan pernah lepas dari serangan hawa nafsu dan setan. Dengan semikian umat Islam akan sibuk bertasfiyah, melakukan berbagai amalan sunah, thalabul ilmi dan riyadhah agar lepas dari hawa nafsu dan setan. Akhirnya waktunya habis dan musuh-musuh Islam bisa melenggang ringan menyebarkan kekafiran di seluruh penjuru dunia. [90]

Dari sini jelaslah kemurnian pemaham salafu al sholih, di mana saat menyebutkan kitab jihad mereka hanya menyebutkan perang, hukum-hukum perang, anjuran mencari syahid dst. Mereka tidak melalaikan jihad melawan hawa nafsu, namun mereka meletakkannya dalam kitab tersendiri yang mereka namai kitab al Zuhdu dan al Raqaiq. Mereka tidak mencantuman tarbiyah wa tashfiyah ini dalam bab jihad. Inilah fiqih salafu al sholih yang mesti kita ikuti.[91]

Wallahu A’lam bish Shawab.



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/48, menyimpulkan dari Lisanu al Arab 4/107, Taaju al Arus 2/329,al Mu’jamu al Wasith /142, Al Shihah 1/457, Mu’jamu Maqayisi al Lughah 1/486 dll

[2]Ibid

[3] lihat Min Wasaili Daf’i al Ghurbah, Syaikh Salman Audah hal. 13-14

[4] Fi al Jihadi Adabun wa Ahkamun hal. 5

[5] Taujihat Nubuwah, Dr. Sayyid Muhammad Nuh 2/312-213

[6]HR.Ahmad 4/114 dengan sanad shohih no:17152hal:1225,, mempunyai syawahid dalam Silsilah Ahadits al Shahihah no. 551 jilid 2/92.

[7]. HR. Ahmad 3/483 no:16054hal:1127, Shahih al Jami' al Shaghir 1/338 no. 1652/736.

[8] HR. Al-Bukhori No. 2785 Kitabul jihad was Sair, Darus Ssalamcet.ke-1 th.1998M/1417H, Nasa’I 6/19 Maktabah Ilmiyah, Ahmad 2/344., Ibnu Abi Syaibah 5/199).

[9] Al-Bukhori no. 2786, Kitab jihad Wassair, hal: 566” Darussalam “ Riyadh cet ke-1th: 1997M/1417H.

[10] Ibid no : 2790,hal: 566

[11] Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr. Abdulloh Azzam hal. 5

[12] Ibid

[13] Lihat Al Lajnah al Syar'iyah hal. 46

[14] Lihat Min Wasaa’ili Daf’il Ghurbah, Syaikh Salman Fahd Audah hal 21, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr. Abdulloh Azzam hal.6

[15] Lihat Fil Jihadi Adaabun wa Ahkamun Dr. Abdulloh Azzam hal. 5-6

[16] Lihat Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr. Abdulloh Azzam hal. 6

[17] LihatFil Jihad Adabun wa Ahkam hal. 5-6

[18] Lihat Min wasa’ili Daf’il Ghurbah, Syaikh Salman Audah hal. 14

[19] Fi al Jihad Adabun wa Ahkamun hal. 6

[20] Ilhaq bi al Qafilah, Dr. Abdulloh Azzam hal. 46

[21] Al Jihadu Sabiluna, Abdul Baqi Romdlon hal. 13

[22] Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49

[23] Waqfatun Ma’a Al Duktur al Buthi fi Kitabihi ‘an al Jihad. Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi hal. 11

[24] Ahammiyatu al Jihad fi Nasyri al Da'wah al Islamiyah hal. 116

[25] Min Wasaili Daf’i al Gurbah hal. 21

[26] Terjemahan tenerbitan At Tibyan, Solo

[27] HR Nasa’i 7/161

[28] Muslim no. 5

[29] Waqfat ma’a Ad-Duktur Al-Buthi fii Kitaabihi ‘anil Jihad ha.12

[30] Tahdzibu Syarh Al-‘aqidah ath Thahawiyah, Abdul akhir Hammad Al-Ghoinami hal.360

[31] Zaadul Maad , Ibnul Qoyyim III/64, Penerbit “Massasah Arrisalah” cet.ke-3 th 1998M/1419H

[32]Sunan Abi Dawud : 2502

[33] Membina Angkatan Mujahid, Said Hawa, hal.168-169

[34] . Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qordlowi 2/657 Cet: 8 1405 H/ 1985 M, Muassasah Ar Risalah.

[35] . Ibid, 2/658

[36] Ibid.2/666-667

[37] Ibid 2/668

[38] Taisiru al Wushul ila al Ushul, hal. 296

[39] Al Lajnatu al Syar'iyatu hal. 47, Ulyani hal. 116-117, Al Ghunaimi hal 11, Azzam dll

[40] Fathu al Bari 6/5

[41] Lihat Min Wasa’I Daf’il Ghurbah, hal. 21, Fil Jihadi Adaab Wa Ahkaam, hal 6

[42] Waqfatun Ma’a Al Duktur al Buthi fi Kitabihi ‘an al Jihad. Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi hal. 16

[43] Fathu al Bari 6/22

[44] Fathul Bari 6/59

[45] Fathul Bari 2/9

[46] Lihat Fil Jihadi Fiqhun Wa Ijtihadun, Dr. Abdullah Azzam III/108

[47] Masyari’ul Asywaaq 1/141

[48] Majmu’ Fatawa 35/37

[49] Tahdzibu ath Thahawiyah hal. hal.360

[50] Zaadul Maad , Ibnul Qoyyim III/64 Cet : 3. 1419 H/ 1998 M. Muassasah Ar Risalah.

[51] Membina Angkatan Mujahid, Said Hawa, hal.168-169

[52] HR. Tirmidzi no. 2616, Al Hakim 2/76

[53] HR. Muslim no. 49, Abu Daud no. 1140 dan 4340, Tirmidzi 2172, Ibnu Majah no. 1275, Ahmad 3/54, Nasa'I 8/111

[54] Lihat penjelasan hadits ini dalam Jami'u al Ulum wa al Hikam hal

[55] HR. Bukhori no. 2786

[56] Fathu Al Bari : 6/5, Syarh hadits 2785

[57] HR. Bukhori no. 2785

[58] Fathu Al Bari : 6/5, Kitab jihad dan sair, bab keutamaan jihad dan sair

[59] HR. Bukhari no. 2817

[60] Fathu Al Bari : 6/5, bab angan-angan seorang mujahid untuk kembali kedunia.



[62] Musnad Imam Ahmad : 6/20 no. 24451, Silsilah Ahadits Shahihah no. 549, Shahih Jami` Shagir no. 6679.

[63] Zaadul Ma’ad : 3/5-6, tentang petunjuk Nabi saw dalam jihad, maghazi, saroya, dan bu’uts.

[64] Silsilatu al Ahaditsu al Dhaifah wa al Maudhu’ah 5/478-480 no. 2460, Dha’ifu al Jami’ al Shaghiru hal. 595 no. 4080

[65] Majmu’ Fatawa 11/197

[66] Siyaru A’lami an Nubala’ : 6/325, bab Ibrahim bin Abi Ablah.

[67] Siyaru A’lam 6/324

[68] Fathul Bari : 6/30, bab amal shaleh sebelum berperang.

[69] Majmu’ Fatawa : 11/196-197.

[70] Zadul Ma’ad : 3/9, tentang marotib jihad an-nafs

[71] . Al Umdah fi I’dadil Uddah hal. 351, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz.

[72] . Al Umdah fi I’dadil Uddah hal. 351.

[73]. Syarhu Thahawiyah hal. 377-378, Al Maktabul Islamy, 1403 H.



[74] . Ar Risalah hal. 357-360, tahqiq : Ahmad Syakir.

[75]. Jamiu Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 9-12.



[76] . Majmu’ Fatawa 28/80.

[77]. Syarhu Sunah 1/289-290, tahqiq Syu’aib Al Arnauth.

[78] . Fathul Baari 13/320.

[79] . Al Majmu’ Syarhul Muhadzab I/45, Daarul Fikr dengan tahqiq ; Dr. Mahmud Muthraji.

[80] . Mukhtashor Minhajil Qasidin hal. 14, Ddaarul Fikr.

[81] . HR. Tirmidzi no. 1871, Shahih.

[82]. HR. Bukhari Kitabu Jihad sebuah bab,” Amalun Sholihun qabla al Qital” {amal sholih sebelum perang}. no. 2808

[83]. Fathu al Bari 6/31, bab amal shaleh sebelum berperang

[84]. Madariji Al - Salikin 1/245-248, tentang tingkatan jebakan setan

[85] Madariji Al - Salikin 1/249

[86] HR. Muslim

[87] Zaadul Ma’ad : 3/5-6, memerangi musuh-busuh Allah termasuk dari jihad hawa nafsu.

[88] Majmu` Fatawa 28/441-443.

[89] Fathu al Bari : 6/15,

[90] Lihat Tahqiq atas Masyari’u al Aswaq ila Mashori’i al Usyaq 1/29-31

[91] Masyari’u al Aswaq 1/34

(Al Mujahid, 2008)

Tidak ada komentar:

 

blogger templates | Make Money Online