Sabtu, Maret 08, 2008

Kedudukan al-Aqsha Dalam Islam

Semenjak lama aku menyibukkan diri dalam pembahasan reorintasi yaitu mengembalikan segala sesuatu atau segala pekerjaan kepada awalnya.
Sepanjang pengamatanku, kesalahan prilaku sebagian kaum muslimin dalam pekerjaanya atau ketidak tekunan mereka dalam pekerjaan, dikarenakan niat awal ketika mereka bekerja adalah ingin mendapatkan gaji yang yang sesuai dengan jenis pekarjaannya.
Kita sering mendengar, ketika seseorang dikritik karena lalai atau tidak teliti dalam pekerjaanya, ia selalu mengaitkan alasannya itu dengan gaji yang ia terima setiap bulan. Ia berkata, “Aku bekerja sesuai dengan jumlah gajiku”. Perkataan ini sering kita dengar bahkan sudah menjadi hal yang biasa di antara sebagian pekerja kita.
Kalaulah kita setuju dengan alasan mereka, kemudian kita teliti dan menghitung-hitung waktu yang digunakan oleh mereka dalam pekerjaanya, pasti kita akan menemukan bahwa, mayoritas mereka menghabiskan waktunya dengan ngobrol-ngobrol di telepon tidak karuan atau hanya sekedar minum teh. Bahkan banyak diantara mereka keluar dari kantor hanya untuk menghisap rokok karena mungkin ia seorang pecandu rokok. Ia tidak sabar untuk keluar menunggu hingga waktu pekerjaanya selesai.
Kalau kita teliti waktu yang dipakai untuk bekerja oleh sebagian pegawai kebanyakannya dipakai sia-sia atau dipakai sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dari sini akan terungkap urgensinya reorientasi dalam prilaku akhlaq atau pekerjaan, supaya kita bisa terhindar dari kesalahan atau bisa tekun dalam pekerjaan. Sehingga kalaupun seandainya gaji kita ini pas-pasan, sebagaimana diungkapkan oleh sebagian pegawai kita, maka ketahuilah disana ada balasan yang akan diberikan oleh Allah, yaitu keberkahan dalam kesedikitan, kecukupan pada keluarga dan anak, ketentraman jiwa dan ketenangan hati.
Itulah mukaddimah yang panjang yang mesti saya utarakan sebagai pengantar bagi masalah yang menjadi sentral pembicaraan ini, yaitu masalah Palestina dan Masjid al-Aqsha serta usaha-usaha yang dilakukan secara terus menerus oleh kelompok Yahudi radikal untuk menghancurkan al-Aqhsa dan membangun diatasnya Haikal.
Dari awal saya katakan, masalah ini kalau kita mau mengurut ke pokok pangkalnya (reorientasi) adalah apa yang diucapkan oleh Yasir Arafat ketika ia menang dalam pemilu dan mau mendirikan negara Palestina. Ia mengatakan, dirinya sangat berkeinginan untuk menjadikan negara Palestina itu sebagai negara sekuler.
Tapi coba lihat, katika Yahudi mau mendirikan negaranya, reorientasinya atas dasar agama. Oleh karena itu mereka menamakan negaranya dengan nama salah satu Nabi yang mulia, Ya’qub (Israil) alaihi salam. Inilah perbedaan cara pandang masalah Palestina menurut Yahudi dan Arab.
Kalau seandainya masalah ini dikembalikan pada asalnya (awal pembebasan Palestina oleh Uamr bin Khottob atau pembebasan kembali oleh Shalahuddin al-Ayubi), maka bangsa arab tidak akan kehilangan sejengkal pun dari tanah Palestina yang penuh berkah ini.
Dibawah ini ada beberapa hal yang akan mengembalikan masalah al-Aqsha ini kepada asalnya :
1. Dari awal al-Qur’an telah memuat dokumen khusus tentang kepemilikan Palestina. Allah berfirman : “ Maha suci (Allah) yang telah mengisrakan hambanya pada waktu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang diberekahi sekelilingnya untuk kami lihatkan ayat-ayat kami, bahwasanya Dia itu Maha Mendengar dan Maha Melihat” (al-Isra ayat 1). Ayat yang mulia ini dibaca ketika shalat dan ketika kita membaca al-Qur’an. Hal ini menegaskan tidak sedikitpun keraguan bahwa Allah Ta’ala memberikan amanat kepada kaum muslimin untuk menjaga rumahNya yang suci ini, karena mereka mengakui semua nabi-nabi dan rasulNya atas Nabi kita alaihi shalatu wa salam. Sebagaimana mereka (kaum muslimin) mengimani semua kitab yang diturunkan sebelum terjadi perubahan oleh mereka. Allah telah memberikan amanah tanggung jawab, pemeliharaan, dan penjagaan dari setiap penodaan dan perubahan kepada kaum muslimin. Maka ayat ini merupakan dokumen yang selalu dibaca setiap hari dan malamnya, yang megingatkan kaum muslimin akan tanggung jawabnya terhadap Masjid al-Aqsha dan sekitarnya.
2. Al-Aqsha adalah kiblat pertama bagi kaum muslimin, sebelum Allah memerintahkan mereka merubah arah kiblatnya ke Masjid al-Haram. Sebab yang paling kuat disyari’atkannya shalat menghadap Bait al-Maqdis adalah adanya berhala dan patung di Baitullah. Hingga suatu saat Allah memberikan idzin untuk menghadap ke Masjid al-Aqsha. Sebagaimana diriwayatkan tarikhnya dari Qotadah ia berkata : “ Dulu mereka dan Rasulalallah shalat mengahadap baet al-Maqdis sewaktu berada di Makkah sebelum Hijrah. Setelah hijrah Rasulallah shalat menghadap Bait al-Maqdis selama 16 bulan, kemudin Beliau shalat menghadap ka’bah (Baitullah al-Haram).
3. Masjid al-Aqsha berada pada posisi ketiga dalam kedudukan dan keutamaannya di dalam Islam, setelah Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid al-Nabawi di Madinah. Shalat di masjid tersebut pahalanya sama dengan 500 kali shalat di masjid biasa. Rasulalla bersabda : “Shalat di Masjid al-Haram sama dengan 100.000 shalat di amsjid lainya, dan shalat di Masjidku (masjid al-Nabawi) sama dengan 1000 shalat di masjid lainnya dan shalat di Masjid al-Aqsha sama dengan 500 shalat di Masjid lainnya (hadits Hasan riwayat al-Thabrani).
4. Masjid al-Aqsha adalah salah satu masjid yang diperbolehkan niat khusus untuk melakukan ibadah di tempat itu, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, Ibnu majah dan Abu Dawud dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “ Telah bersabda Rasulallah SAW. “Tidak boleh mengkhususkan melakukan perjalan kecuali kepada tiga masjid. yaitu, Masjid al-Haram, Masjid al-Nabawi dan Masjid al-Aqsha”. Hadits ini menunjukan ketinggian Masjid al-Aqsha di dalam Islam. Hadits itu juga menekankan pentingnya kaum muslimin memperhatikan Masjid al-Aqsha serta menekankan tanggung jawab dalam membela dan menjaga masjid tersebut. Tidak boleh membiarkan atau melalaikan Masjid al-Aqsha dikuasai oleh musuh.
5. Dalam reorientasi masalah al-Aqsha, kita kembali menguak apa yang dilakukan Khalifah kedua, Umar Ibnu al-Khottob, yang telah melakukan perjalanan ke Palestina, ketika penduduk negeri itu mensyaratkan, bahwa yang menerima penyerahan Palestina harus Umar sendiri. Inilah satu-satunya negeri yang pada zaman Khalifah al-Rasysidin, penyerahan daerah penaklukannya diterima oleh seorang Khalifah secara langsung. (Filistin Dirasat Manhajiah fi al-Qodhiyah al-Filistiniyah/ DR. Muhsin Muhammad Shalih/hal.22). Umar Bin Khottob mengadakan perjanjian tertulis “al-Ahdah al-Umariyah” bahwa orang Nashrani telah mengamanahkan kepada Umar diri mereka, harta mereka, gereja mereka, keturunan mereka, orang-orang yang sakit diantara mereka, orang yang sembuhnya, dan semua kepercayaan di sana, untuk dijaga dan pelihara oleh pemerintahahan Islam (ibid hal.22)
6. Komandan perang Shalahuddin al-Ayubi telah berjanji kepada dirinya, tidak akan tersenyum selama hidupnya sebelum membebaskan Bait al-Muqaddas dari kekuasaan tentara Salibis. Maka ia mempersiapkan niatnya itu pada tahun 583 H./4 Juli 1187. dan pada tanggal 27 Rajab tahun 573 H./2 Oktober 1187 Bait al-Maqdis dapat dibebaskan kembali dari penjajahan tentara Salibis, yang telah menjajahnya selama 88 tahun. Pemerintahan Islam telah berlaku di Palestina selama 1200 tahun, yaitu hingga tahun 1917. Masa terpanjang bagi suatu pemerintahan manapun di dunia ( ibid. hal. 25)
7. Palestina adalah tempat dimana para shahabat Nabi, para tabi’in dan para ahli fiqh berdiam disana, diantara para shahabat adalah, Ubadah bin Shamit, Syadad bin Uwes, Usamah bin Zaid bin Haritsah, Dihyah al-Kalbi, Uwes bin Shamat. Diantara para tabi’in adalah, Raja bin Hayawiyah al-Kindi, salah seseorang keturunan Bisan (yang diisyaratkan oleh Sulaiman bin Abdul Malik sebagai orang yang loyal kepada kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz) diantara para tabi’in lain adalah Ubadah bin Nasi al-Kindi, Malik bin Dinar, dan al-Auza’i. Diantara para fuqoha misalnya, Ibrahim bin Adham, Laits bin Sa’ad (ulama Mesir), Abu Bakar al-Thurthusi, Abu Bakar al-Jurjani, Ibnu Qudamah al-Muqoddasi. Yang termasuk keturunan Palestina misalnya, Musa bin Nushair al-Lakhmi sang penakluk Andalusia. Ulama pertama yang ahli dalam ilmu kimia adalah Kholid bin Yazid al-Umawi (ibid. hal. 25-26).
Inilah tulisan yang sangat ringkas tentang kedudukan al-Aqsha di dalam Islam serta tanggung jawab kaum muslimin terhadapnya, dimasa lalu ataupun masa sekarang.

Tulisan Abdurrahman Ali al-Banfalah
Harian berita al-Khalij al-Bahrain 15/5/2005

Tidak ada komentar:

 

blogger templates | Make Money Online