Minggu, Desember 14, 2008

Bingkisan Istimewa untuk Saudariku agar Bersegera Meninggalkan Musik dan Lagu

Penyusun: Ummu Rumman
Muraja’ah: Ustadz Abu Salman

Suatu ketika seorang akhowat tengah duduk bersama beberapa temannya mengerjakan tugas kuliah. Tak jauh dari mereka, duduk pula seorang teman. Sepertinya ia sedang menunggu kedatangan seseorang. Sang akhowat terheran-heran melihat temannya. Telah satu jam lebih ia duduk tanpa melakukan apapun kecuali ia tampak berkonsentrasi penuh menghafalkan sesuatu yang tertulis dalam kertas yang dipegangnya. Ketika rasa ingin tahunya tak terbendung lagi akhowat tersebut pun bertanya, apakah gerangan yang ia hafalkan? apakah yang tertulis dalam kertas tersebut? Betapa kagetnya ketika ia dapati isi kertas tersebut adalah syair lagu-lagu (musik). Astagfirullah… wal ‘iyyadzubillahi min dzalik.


Ya ukhty, betapa melekatnya musik di kehidupan umat muslim saat ini. Di mana pun, kapan pun, bahkan saat kondisi apapun musik tidak terlepas dari mereka. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya musik membantu proses belajar. Orang yang belajar dengan diiringi musik, maka ilmu itu akan lebih mudah terpatri di dalam dirinya. Sebagian lagi menganjurkan kepada wanita yang sedang hamil untuk secara rutin memperdengarkan musik klasik pada usia kehamilan tertentu untuk membantu perkembangan pertumbuhan otak sang jabang bayi. Dan pendapat yang tak kalah jahil adalah perkataan yang menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak menyukai musik adalah orang yang kasar hatinya. Subhanallah… Maha suci Allah dari segala apa yang mereka tuduhkan…

Hukum Musik dan Lagu

Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6) Sebagian besar mufassir (Ulama Ahli Tafsir -ed) berkomentar, yang dimaksud dengan “perkataan yang tidak berguna” dalam ayat tersebut adalah nyanyian. Hasan Al Basri berkata, “Ayat itu turun dalam masalah musik dan lagu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras dan musik.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud). Maksudnya adalah akan datang pada suatu masa di mana beberapa golongan dari umat Islam mempercayai bahwa zina, memakai sutera asli, minum minuman keras dan musik hukumnya halal, padahal semua itu adalah haram. Imam Syafi’i dalam kitab Al Qodho’ berkata, “Nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci, bahkan menyerupai perkara batil. Barangsiapa memperbanyak nyanyian maka dia adalah orang yang dungu, kesaksiannya tidak dapat diterima.”

Ya ukhty, telah jelas haramnya musik dan nyanyian. Maka janganlah engkau menjadi ragu hanya karena banyaknya orang yang menganggap bahwa musik itu halal. “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am: 116)

Adapun orang-orang yang menyatakan tentang halalnya musik maupun mengatakan tentang berbagai manfaat musik, maka cukuplah kita katakana kepada mereka, apakah engkau mengaku lebih mengetahui kebenaran dan kebaikan daripada Allah dan Rasul-Nya ?

Bingkisan Istimewa untuk Saudariku agar Bersegera Meninggalkan Musik dan Lagu

Ya ukhty, salah satu tanda syukurmu atas nikmat yang diberikan oleh Allah adalah engkau menggunakan nikmat-Nya untuk beribadah kepada-Nya. Serta engkau tidak menggunakan nikmat-Nya untuk bermaksiat kepada-Nya. Ingatlah bahwa tidak ada sesuatu pun nikmat pada dirimu melainkan nikmat itu berasal dari Allah. Maka janganlah engkau gunakan nikmat-nikmat Allah itu untuk sesuatu hal yang tiada berguna terlebih lagi dengan perkara yang telah jelas keharamannya.

Ukhty, engkau telah mengetahui bahwa biasanya kesudahan hidup seseorang itu pertanda dari apa yang dilakukannya selama di dunia, lahir dan batin. Dan diantara tanda seseorang itu husnul khotimah atau su’ul khotimah adalah ucapan yang sering ia ucapkan di akhir hayatnya. Karena itu, demi Allah! Janganlah engkau menganggap remeh masalah musik ini. Engkau mungkin mengatakan, “Ah, aku hanya mendengarnya sekali dua kali saja. aku mendengarnya hanya untuk mengisi waktu senggang atau ketika bosan. Kupikir itu tidak akan berpengaruh pada diriku.” Tahukah engkau ukhty, sesungguhnya pelaku maksiat itu terbiasa karena ia mengizinkan satu dua kali tindakan maksiat. Meskipun hanya sekali dua kali, itu tetaplah maksiat dan bisa mendatangkan murka Allah.

Sekali engkau mendengar atau menyanyikannya, maka sebuah noktah telah kau torehkan pada hatimu. Dan karena telah sekali engkau terlena, engkau pun cenderung melakukannya lagi sehingga makin sulit engkau berlepas diri dari musik dan nyanyian. Dan ketika musik telah menjadi kebiasaan, sungguh dikhawatirkan ia akan menjadi kebiasaan hingga akhir hidup. Betapa sering telinga ini mendengar kisah tentang orang-orang yang mengakhiri hidupnya dengan lantunan musik dan lagu. Mereka tidak bisa mengucapkan syahadat Laailaha illallaah, meski dengan terbata-bata. Justru lantunan musik yang terdengar dari lisan mereka - Na’udzubillahi min dzalik. Meski mungkin mereka pun menginginkan untuk mengucapkan kalimat syahadat, tetapi tenyata lisan mereka terasa ‘berat’ dan telah terlanjur terbiasa dengan musik.

Ukhty, kita memohon pada Allah kesudahan hidup yang baik. Meninggal sebagai muwahid dan syahadat Laailaha illallaah sebagai penutup hidup kita. Aamiin…

Maraji’:

  1. 70 Fatwa Tentang Al-Qur’an (Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz)
  2. Berbenah Diri untuk Penghafal Al-Qur’an (Dr. Anis Ahmad Kurzun), Majalah As Sunnah, edisi Ramadhan 06-07/ Tahun XI/ 1428H/ 2007M
  3. Bersanding dengan Bidadari di Surga (Dr. Muhammad bin Ibrahim An-Naim)
  4. Hukum Musik dan Lagu, Rasa’ilut Taujihaat Al Islamiyyah, 1/ 514 – 516 (Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
  5. Kiat Mengatasi Kendala Membaca dan Menghafal Al-Qur’an (Haya Ar-Rasyid)

***

Artikel www.muslimah.or.id

Jumat, Desember 05, 2008

Seputar Jabat Tangan

Penulis: Ammi Nur Baits
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

Pengertian

Al Hattab (ulama madzhab Malikiyah) mengatakan: “Para ulama kami (Malikiyah) mengatakan: Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan pada telapak tangan orang lain dan ditahan beberapa saat, selama rentang waktu yang cukup untuk menyampaikan salam.” (Hasyiyah Al Adzkar An Nawawi oleh Ali Asy Syariji, hal. 426)

Ibn Hajar mengatakan: “Jabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak tangan yang lain.” (Fathul Bari, 11/54)

Hukum

An Nawawi mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya jabat tangan adalah satu hal yang disepakati sunnahnya (untuk dilakukan) ketika bertemu.”

Ibn Batthal mengatakan: “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal, 71/50)

Namun penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara sesama laki-laki atau sesama wanita.

Berikut adalah dalil-dalil dianjurkannya jabat tangan:

  • Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah jabat tangan itu dilakukan diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Anas menjawab: “Ya.” (HR. Al Bukhari, 5908)
  • Abdullah bin Hisyam mengatakan: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau memegang tangan Umar bin Al Khattab.” (HR. Al Bukhari 5909)
  • Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al Bukhari 4156)

Dan beberapa hadis lainnya yang akan disebutkan dalam pembahasan keutamaan berjabat tangan.

Akan tetapi dikatakan bahwasanya Imam Malik membenci jabat tangan. Dan ini merupakan pendapat Syahnun dan beberapa ulama Malikiyah. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah ta’ala ketika menceritakan salamnya Malaikat kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya: “(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: ‘Salaamun’ Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (QS. Ad Dzariyat: 25)

Pada ayat di atas, malaikat hanya menyampaikan salam kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan mereka tidak bersalaman. Sehingga Malikiyah berkesimpulan bahwa di antara kebiasaan orang saleh (nabi Ibrahim & para Malaikat) adalah tidak berjabat tangan ketika ketemu, tetapi hanya mengucapkan salam.

Namun, yang lebih tepat, pendapat Imam Malik yang terkenal adalah beliau menganjurkan jabat tangan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah riwayat, di mana Sufyan bin ‘Uyainah pernah menemui beliau dan Imam Malik bersalaman dengan Sufyan. Kemudian Imam Malik mengatakan: “Andaikan bukan karena bid’ah, niscaya aku akan memelukmu.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Orang yang lebih baik dari pada aku dan kamu yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memeluk Ja’far ketika pulang dari negeri Habasyah. Kata Malik: “Itu khusus (untuk Ja’far).” Komentar Sufyan: “Tidak, itu umum. Apa yang berlaku untuk Ja’far juga berlaku untuk kita, jika kita termasuk orang saleh (mukmin).” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/13949)

Kesimpulannya, bahwasanya pendapat yang paling tepat adalah dianjurkannya berjabat tangan antar sesama. Mengingat banyak dalil yang menegaskan hal tersebut. Sedangkan adanya pendapat yang menyelisihi hal ini terlalu lemah ditinjau dari banyak sisi.

Keutamaan Berjabat Tangan

  1. Terampuninya dosa
    • Dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Daud, 4343)
    • Dari Hudzifah bin Al Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 525)
  2. Menimbulkan rasa cinta antara orang yang saling bersalaman
  3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan suatu perbuatan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai?” yaitu: “Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim 93)

    Jika semata-mata mengucapkan salam bisa menimbulkan rasa cinta maka lebih lagi jika salam tersebut diiringi dengan jabat tangan.

  4. Menimbulkan ketenangan jiwa
  5. Menghilangkan kebencian dalam hati
    • “Lakukanlah jabat tangan, karena jabat tangan bisa menghilangkan permusuhan.” Tetapi hadis ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (Ad Dha’ifah, 1766)
    • “Lakukanlah jabat tangan, itu akan menghilangkan kedengkian dalam hati kalian.” (HR. Imam Malik dalam Al Muwatha’ dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani)
  6. Terdapat beberapa hadis dalam masalah ini, namun semuanya tidak lepas dari cacat. Di antaranya adalah:

    Terlepas dari hadis di atas, telah terbukti dalam realita bahwa berjabat tangan memiliki pengaruh dalam menghilangkan kedengkian hati dan permusuhan.

  7. Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya lembut

Ketika penduduk Yaman datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.” Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkomentar tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama kali mengajak untuk berjabat tangan.” (HR. Ahmad 3/212 & dishahihkan Syaikh Al Albani, As Shahihah, 527)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa penduduk Yaman adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada para sahabat. Di antara ciri khas mereka adalah bersegera untuk mengajak jabat tangan.

Mencium Tangan Ketika Jabat Tangan

Ibn Batthal mengatakan:

“Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi mencium tangan ketika bersalaman. Imam Malik melarangnya, sementara yang lain membolehkannya.” (Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Batthal 17/50)

Di antara dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan adalah:

  • Abu Lubabah & Ka’ab bin Malik, serta dua sahabat lainnya (yang diboikot karena tidak mengikuti perang tabuk) mencium tangan Nabi Shallallhu ‘alaihi wa Sallam ketika taubat mereka diterima oleh Allah. (HR. Al Baihaqi dalam Ad Dalail & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
  • Abu Ubaidah mencium tangan Umar ketika datang dari Syam (HR. Sufyan dalam Al Jami’ & disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
  • Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibn Abbas ketika Ibn Abbas menyiapkan tunggangannya Zaid. (HR. At Thabari & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
  • Usamah bin Syarik mengatakan: “Kami menyambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami mencium tangannya.” (HR. Ibn Al Maqri, Kata Al Hafizh: Sanadnya kuat.”)

Dan masih banyak beberapa riwayat lainnya yang menunjukkan bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan. Bahkan Ibn Al Maqri menulis buku khusus yang mengumpulkan beberapa riwayat tentang bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan.

Satu hal yang perlu diingat bahwasanya mencium tangan ini diperbolehkan jika tidak sampai menimbulkan perasaan mengagungkan kepada orang yang dicium tangannya dan merasa rendah diri di hadapannya. Karena hal ini telah masuk dalam batas kesyirikan. (lih. Al Iman wa Ar Rad ‘ala Ahlil Bida’, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaikh)

An Nawawi mengatakan: “Mencium tangan seseorang karena sifat zuhudnya, salehnya, amalnya, mulianya, sikapnya dalam menjaga diri dari dosa, atau sifat keagamaan yang lainnya adalah satu hal yang tidak makruh. Bahkan dianjurkan. Akan tetapi jika mencium tangan karena kayanya, kekuatannya, atau kedudukan dunianya adalah satu hal yang makruh dan sangat di benci. Bahkan Abu Sa’id Al Mutawalli mengatakan: “Tidak boleh” (Fathul Bari, Al Hafizh Ibn Hajar 11/57)

Berdasarkan beberapa keterangan ulama di atas dan dengan mengambil keterangan ulama yang lain, disimpulkan bahwa mencium tangan diperbolehkan dengan beberapa persyaratan:

  • Tidak sampai menimbulkan sikap mengagungkan orang yang dicium
  • Tidak menimbulkan sikap merendahkan diri di hadapan orang yang dicium
  • Karena kemuliaan dan kedudukan dalam agama dan bukan karena dunianya
  • Tidak dijadikan kebiasaan, sehingga mengubah sunnah jabat tangan biasa
  • Orang yang dicium tidak menjulurkan tangannya kepada orang yang mencium (keterangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah)

Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis

Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat yang cukup meruncing. Sebagian mengharamkan secara mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, bahkan sebagian berpendapat sangat longgar. Tulisan ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun tidak lebih dari sebatas usaha untuk menerapkan firman Allah: “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An Nisa’: 59)

Agar kajian lebih sistematis, pembahasan masalah ini akan diperinci menjadi beberapa bagian:

Pertama, Perbedaan pendapat ulama dalam masalah jabat tangan dengan lawan jenis

Ulama Mazhab Hanafi

Diperbolehkan melakukan jabat tangan dengan persyaratan aman dari munculnya syahwat dari kedua pihak orang yang berjabat tangan. Sehingga mereka membedakan antara yang tua dan yang masih muda. Berdasarkan kemungkinan munculnya syahwat.

Ulama Mazhab Maliki

Mazhab ini secara tegas melarang jabat tangan, dan tidak membedakan antara yang sudah tua maupun yang masih muda.

Ulama Mazhab Syafi’i

Sebagian syafi’iyah membolehkan jabat tangan dengan syarat adanya benda yang melapisi dan aman dari munculnya fitnah atau syahwat yang mengarah pada perzinaan. Sebagian yang lain melarang secara mutlak. Dan pendapat kedua ini adalah pendapat mayoritas Syafi’iyah. Di antaranya adalah An Nawawi dan Ibn Hajar al ‘Asqalani.

Ulama Mazhab Hambali

Dalam mazhab ini ada dua pendapat. Pertama melarang secara mutlak tanpa membedakan antara yang muda, yang tua dan yang kedua memakruhkan jika dilakukan dengan yang sudah tua.

Pendapat yang lebih kuat, akan disimpulkan di akhir pembahasan ini.

Kedua, Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjabat tangan dengan wanita?

  • Dari Umaimah binti Raqiqah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sekelompok wanita yang membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk islam. Para wanita itu mengatakan: “Wahai Rasulullah, kami berbaiat (berjanji setia) kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kami, tidak berbohong dengan menganggap anak temuan sebagai anak dari suami, dan menaatimu dalam setiap perintah dan laranganmu.”
  • Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dalam masalah yang kalian bisa dan kalian mampu.” Para wanita itu mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menyayangi kami dari pada diri kami sendiri, mendekatlah, kami akan membaiatmu wahai Rasulullah!

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram), ucapanku untuk seratus wanita itu sebagaimana ucapanku untuk satu wanita.” (HR. Ahmad 6/357 & disahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 2/64)

  • A’isyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan: “Jika ada wanita mukmin yang berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengujinya, berdasarkan firman Allah dalam surat Al Mumtahanah ayat 10. “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka… Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan baiat, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah baiat mereka…” (QS. Al Mumtahanah: ayat 10 s/d ayat 12)
  • Kata A’isyah radhiyallahu ‘anha: “Wanita mukmin yang menerima perjanjian ini berarti telah lulus ujian. Sementara jika para wanita telah menerima perjanjian tersebut secara lisan maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka: ‘Pergilah, karena aku telah menerima baiat kalian’. Dan demi Allah! Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh tangan wanita (tersebut) sedikitpun. Beliau hanya membaiat dengan ucapan.” (HR. Al Bukhari, 7214)

  • Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita ketika baiat.” (HR. Ahmad 2/213 & dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah 530)

Riwayat-riwayat secara tegas menunjukkan bahwa baiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita adalah secara lisan, dan tidak dengan berjabat tangan. Hadis ini sekaligus menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan jabat tangan dengan wanita asing di selain momen baiat. Hal ini dapat dipahami melalui dua alasan:

Pertama, Karena Baiat adalah peristiwa sangat penting dalam sejarah hidup seseorang. Momen baiat merupakan momen yang sangat mendesak untuk diiringi dengan jabat tangan. Karena ini akan lebih menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam baiat. Oleh karena itu, para wanita yang berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengajak beliau untuk berjabat tangan. Namun demikian, Beliau menolaknya. Artinya, terdapat faktor pendorong yang sangat kuat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan dengan wanita asing.

Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah, manusia yang ma’shum (terjaga dari kesalahan), sehingga sangat kecil kemungkinan munculnya niat jahat dalam batin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika harus berjabat tangan dengan wanita. Artinya, faktor penghalang yaitu munculnya niat jahat, sehingga menyebabkan jabat tangan ini menjadi perbuatan maksiat karena diiringi dengan syahwat tidaklah ada. Lengkap sudah posisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan. Ada faktor pendorong yang kuat dan tidak adanya faktor penghalang. Namun demikian, beliau tidak bersedia melakukan jabat tangan dengan wanita asing. Semua ini menunjukkan bahwasanya bagian dari syariat beliau adalah meninggalkan jabat tangan dengan wanita asing.

Ringkasnya adalah sebagaimana yang dinukil dari Ibn ‘Athiyah dan At Tsa’labi: ulama sepakat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuhkan tangannya dengan wanita yang bukan mahramnya sama sekali. Dengan adanya nukilan ijma’ ini, diharapkan bisa memutus segala perselisihan apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan jabat tangan dengan wanita ataukah tidak. Dengan demikian, semua hadis yang secara tidak jelas mengisyaratkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjabat tangan dengan wanita, dikembalikan pada kesimpulan tegas ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita asing.

Ketiga, Apakah sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram?

Ulama ushul menyatakan bahwa sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram secara mutlak. Tetapi hanya menunjukkan hukum makruh.

Al Jas-shas mengatakan: “Pendapat kami tentang sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan sama dengan pendapat kami tentang status perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata.” (Al Ushul, 1/210)

As Syaukani mengatakan: “Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan statusnya untuk diikuti sebagaimana sikap beliau dalam melakukan suatu berbuatan.”

Artinya, semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menunjukkan hukum sunah, sebagaimana semata-mata sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam As Syafi’i, oleh karena itu banyak diikuti oleh ulama mazhabnya. Di antaranya adalah Al Juwaini, Abu Hamid Al Ghazali, As Shairafi. Pendapat ini juga yang dipilih oleh sebagian Hanafiyah dan adalah satu pendapat Imam Ahmad yang kemudian dipilih oleh Abul Hasan At Tamimi, Al Fakhr Isma’il, dan Abu Ya’la Al Farra’.

Abu Syamah Al Maqdisy mengatakan: “Ini adalah pendapat para peneliti di antara ahli hadis. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: “ini adalah pendapat kebanyakan ulama’” (Af’alur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, 66). (lihat Keterangan di atas dalam Mushafaha Al Ajnabiyah fi mizanil Islam, 67)

Kesimpulan:

Berdalil dengan hadis-hadis yang menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berjabat tangan dengan wanita asing tidak cukup untuk menghukumi haramnya berjabat tangan dengan wanita. Karena semata-mata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Untuk menegaskan hukum haram, memerlukan dalil khusus yang menegaskannya. Lalu, apakah ada dalil tegas yang melarang perbuatan tersebut?

Keempat, Hadis-hadis yang secara tegas melarang jabat tangan dengan lawan jenis:

Pertama, Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada dia menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.” (HR. At Tabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 20/212/487 & Ar Ruyani dalam Al Musnad, 2/323/1283)

Hadis ini dibawakan oleh At Thabrani dengan sanad berikut: Dari Abdan bin Ahmad, dari Ali bin Nashr, dari Syaddad bin Said, dari Abul Ala’, bahwasanya Ma’qil bin Yasar mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: …

Andaikan hadis ini shahih maka cukup untuk menjadi pemutus perselisihan ulama dalam masalah ini. Sehingga siapapun yang berpendapat sebaliknya, layak untuk digelari dengan pengekor hawa nafsu. Namun hadis ini memiliki cacat. Berikut keterangan selengkapnya: Keterangan ulama tentang status hadis ini:

Ibn Hajar Al haitami mengatakan: “Sanadnya sahih.” (Az Zawajir, 368)

Al Hafizh Al Haitsami mengatakan: “Perawinya adalah para perawi kitab shahih.” (Al Majma’uz Zawaid, 7718)

Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadis ini sanadnya jayyid” (As Shahihah, 1/447)

Muhammad Abduh Alu Muhammad Abyadh menjelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut: “Semua perawi hadis ini adalah perawi yang terdapat dalam Al Bukhari & Muslim. Kecuali Syaddad bin Sa’id. Beliau hanya terdapat dalam shahih muslim dan hanya meriwayatkan satu hadis saja dalam shahih Muslim. Sebagian ulama, semacam Ahmad dan Ibn Ma’in menganggap Tsiqah perawi ini. Namun Al Bukhari mengatakan tentang perawi ini: “Shaduq namun hafalannya agak rusak.”… Ibn Hibban mengatakan: “Terkadang keliru.”

Sedangkan riwayat Syaddad bin Sa’id menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah, sebagai berikut:

Diriwayatkan oleh Basyir bin Uqbah dari Abul ‘Ala, dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, secara mauquf (perkataan Ma’qil bin Yasar dan bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ma’qil mengatakan: “Kalian bersengaja membawa jarum kemudian menusukkannya ke kepalaku, itu lebih aku sukai dari pada kepalaku dimandikan oleh wanita yang bukan mahram. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 3/15/17310)

Sementara Basyir bin Uqbah adalah perawi yang terdapat dalam shahih Al Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, riwayat Basyir bin Uqbah lebih didahulukan dari pada riwayat Syaddad bin Sa’id.” (Mushafahah Al Ajnabiyah hal. 30, dikutip dengan sedikit penyesuaian)

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa riwayat di atas bukanlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi perkataan sahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu.

Kedua, Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ditetapkan (ditakdirkan) bagi setiap anak Adam bagian dari perbuatan zina. Pasti dia alami dan tidak bisa mengelak. Dua mata zinanya melihat, dua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya berbicara, tangan zinanya menyentuh, kaki zinanya melangkah, hati zinanya berangan-angan, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakan itu semua.” (HR. Muslim 6925)

Beberapa keterangan untuk hadis ini:

An Nawawi mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…” (Syarh Shahih Muslim, 8/457)

Ibn Hibban memasukkan hadis ini dalam kitab Shahihnya. Beliau meletakkan hadis ini di bawah judul: “Bab Penggunaan istilah zina untuk tangan yang menyentuh sesuatu yang tidak halal.” (Shahih Ibn Hibban, 10/269)

Dalam kesempatan yang lain, Ibn Hibban memberikan judul: “Bab, digunakan istilah zina untuk anggota badan yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan cabang dari perzinaan.” (Shahih Ibn Hibban, 10/367)

Penamaan judul Bab dalam kitab shahihnya yang dilakukan Ibn hibban di sini menunjukkan bahwa beliau memahami bahwa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota tubuh yang mengantarkan zina adalah bentuk perbuatan zina. Karena penamaan judul bab para penulis hadis adalah pernyataan pendapat beliau.

Al Jas-shas mengatakan: “Digunakan istilah zina untuk kasus ini dalam bentuk majaz (bukan zina sesungguhnya dengan kemaluan, -pen).” (Ahkam Al Qur’an, 3/96)

Kesimpulannya, istilah zina bisa digunakan untuk semua anggota badan yang melakukan pelanggaran, karena perbuatan tersebut merupakan pengantar terjadinya perzinaan. Sedangkan zina yang hakiki adalah zina kemaluan.

Dengan hadis kedua ini (hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) dapat disimpulkan bahwa jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram dengan disertai syahwat adalah perbuatan haram baik oleh orang muda maupun tua, karena perbuatan ini termasuk bagian perbuatan zina.

Ketiga: Penjelasan Sinqithi yang berdalil dengan perintah untuk menundukkan pandangan.

Allahu a’lam

***

Pernak Pernik Seputar Puasa

Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

Mulai dan Berakhirnya Bulan Ramadhan

Beberapa tahun terakhir ini, kita merasakan bahwa kaum muslimin di Indonesia memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan tidak secara bersamaan.

Tahukah engkau wahai saudariku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dan mengakhiri puasanya dengan berpedoman dengan melihat hilal. Bila hilal tidak terlihat pun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberitahukan alternatif cara, yaitu dengan cara menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30. Begitu pula dengan masuknya bulan Syawal. Maka metode baru, yaitu menentukan masuknya bulan Ramadhan dan Syawal dengan hisab (kalender) tidak dapat dibenarkan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan penjelasan yang sempurna tentang bagaimana menentukan masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan.


Penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut ada pada hadis berikut ini:

“Jika kalian melihat bulan maka berpuasalah, jika kalian melihatnya maka berbukalah, dan jika bulan itu terhalang dari pandangan kalian maka sempurnakan hitungan (Sya’ban) tigapuluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Alhamdulillah pemerintah kita (Indonesia) dalam menetapkan awal dan berakhirnya Ramadhan dengan metode melihat hilal. Maka turutlah berpuasa dan mengakhiri bulan Ramadhan bersama pemerintah, karena “Puasa itu hari manusia berpuasa dan hari raya itu hari manusia berhari raya.” (HR. Tirmidzi)

Niat Puasa

Nawaituu….shauma ghodiinn… dst. Itulah niat puasa Ramadhan yang biasa dilafalkan setelah selesai shalat tarawih dan witir. Mungkin mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Hafshoh bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi & Ahmad, dishahihkan oleh al Albani dalam al Irwa’)

Tahukah engkau saudariku, hadits tersebut memang shahih. Tetapi penerapannya ternyata tidak sebagaimana yang dikerjakan oleh masyarakat sekarang ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melafalkan niat beribadah seperti shalat, puasa dan lainnya. Karena niat adanya di dalam hati. Maka cukupkan niatmu untuk berpuasa di dalam hati.

Imsak

Imsak adalah bahasa arab yang berarti “Tahanlah”. Lafal ini biasa dikumandangkan di masjid-masjid sekitar 10 menit sebelum adzan subuh di bulan Ramadhan (bahkan jadwalnya pun biasa beredar dan ditempel di rumah-rumah penduduk). Maksudnya dikumandangkannya lafal imsak ini adalah agar orang-orang mulai menahan diri dari makan dan minum sejak dikumandangkannya pengumuman tersebut.

Tahukah engkau wahai saudariku, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan dan memberitahukan cara seperti ini. Bahkan sebaliknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa sahur sesaat sebelum terbit fajar. Karena yang menjadi ukuran dimulainya puasa adalah saat terbit fajar. Seperti diceritakan oleh Anas radhiallahu’anhu, ia diceritakan oleh Zaid bin Tsabit radhiallahu’anhu seperti ini,

“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat.”
Kemudian Anas pun bertanya kepada Zaid, “Berapa lama antara iqomah dan sahur?”
Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an.” (HR. Bukhari)

Sayangnya yang terjadi, saat-saat setelah imsak biasanya juga melalaikan manusia dari ibadah wajib setelah itu, yaitu shalat subuh. Bagaimana tidak, dalam keadaan terkantuk-kantuk sahur, kemudian harus menunggu sekitar 10 menit untuk ibadah shalat. Alih-alih ternyata 10 menit itu dipergunakan untuk tidur sesaat, dan akhirnya membuat seseorang terlambat shalat subuh. Sungguh, memang sesuatu yang tidak diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun terdapat kebaikan di dalamnya, tetap mengandung keburukan yang lebih banyak.

Do’a Berbuka

Di berbagai media elektronik, sering diputar lafal do’a ini sesaat setelah adzan Maghrib dikumandangkan. “Allahumma… lakasumtu… wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu… dst.” Tahukah engkau wahai saudariku, ternyata bukan itu lafal do’a berbuka puasa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do’a berbuka puasa yang shohih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
ذهَبَ الظَّمَأُ وَ ابْتَلَّتِ الْعُرُقُ وَ ثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَا اللّهَ

“Telah hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan dan mendapat pahala insya Allah.” (HR. Abu Dawud)

Ayo hafalkan sejenak. Supaya bertambah pahala yang kita dapatkan setelah berpuasa seharian karena berdo’a dengan do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bid’ah Tarawih??!

Ada sebagian orang yang sangat senang melakukan ibadah, namun kurang memperhatikan kebenaran dalil-dalil ibadah tersebut, atau bahkan tidak mengetahui sama sekali dalil ibadah tersebut. Biasanya, jawabannya ini adalah bid’ah hasanah. Tahukah engkau saudariku, tarawih bukan termasuk bid’ah dan tidak tepat dijadikan alasan pembenaran bagi orang yang melakukan ibadah baru dalam agama. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah melakukan tarawih bersama para sahabatnya ketika beliau masih hidup. Beginilah dikisahkan oleh ibunda kita tercinta Aisyah radhiallahu’anha,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid (pada bulan Ramadhan-pen). Orang-orang pun ikut shalat bersamanya. Dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang. Ketika beliau shalat, mereka pun ikut shalat bersamanya, mereka memperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat, masjid tidak mampu menampung jama’ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat subuh. Setelah selesai shalat (subuh), beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda, ‘Amma ba’du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian (shalat tarawih tersebut-pen), hingga kalian tidak mampu mengamalkannya’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitulah belas kasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Karena ketika beliau hidup, wahyu masih turun, maka beliau khawatir jika akhirnya shalat tarawih pada bulan Ramadhan itu diwajibkan bagi umatnya. Dan beliau khawatir hal tersebut tidak sanggup dijalankan oleh umatnya. Dari hadits ini, maka jelas tarawih merupakan sunnah yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena 3 alasan:

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat tersebut selama 4 hari, walau akhirnya ditinggalkan dengan sebab yang telah disebutkan di atas. (Berarti ini termasuk sunnah fi’liyah – perbuatan nabi shallallahu’alaihi wa sallam-)
  2. Nabi menyatakan bahwa, “Barangsiapa yang mengikuti shalat bersama imam hingga selesai, maka Allah catat untuknya pahala shalat semalam suntuk.” (HR, Ahmad dishahihkan oleh Syaikh Al-Bani). Berarti tarawih juga termasuk sunnah qauliyah – perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
  3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendiamkan (yang diamnya ini berarti menyetujui) dengan perbuatan para sahabat yang melakukan shalat tarawih berjama’ah.

Antara 11 dan 23?

Jumlah raka’at shalat tarawih di berbagai ma sjid biasanya berbeda-beda, dan yang masyhur di negara kita kalau tidak 11 raka’at maka biasanya 23 raka’at. Lalu, yang mana yang benar ya?

Tahukah engkau saudariku, berdasarkan hadits yang diriwayatkan ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam melebihi 11 raka’at. Namun, berdasarkan penjelasan ulama, maksud hadits ini bukanlah pembatasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya shalat malam sebanyak 11 raka’at saja. Karena terdapat riwayat shahih lainnya yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sebanyak 13 raka’at. Jadi, maksud perkataan Aisyah radhiallahu ‘anha adalah yang biasa dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah shalat malam tidak lebih dari 11 raka’at.

Nah, bukan berarti menjalankan shalat tarawih sebanyak 23 raka’at adalah kesalahan lho. Karena di hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa, “Barangsiapa yang mengikuti shalat bersama imam hingga selesai, maka Allah catat untuknya pahala shalat semalam suntuk.” (HR, Ahmad)

Dan hadits tentang shalat malam, “Shalat malam itu dengan salam setiap dua raka’at. Jika salah seorang dari kalian takut kedatangan subuh, maka hendaklah ia shalat satu raka’at sebagai witir untuk shalat yang telah ia lakukan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kesimpulannya, jika engkau memilih shalat di masjid (dengan menjaga kaidah-kaidah perginya wanita ke masjid) dan mendapati di masjid tersebut biasa menjalankan shalat tarawih sebanyak 23 raka’at dengan tenang, maka engkau tidak perlu berhenti pulang setelah mendapati 8 raka’at. Ataupun jika shalat sendirian juga tidak mengapa jika ingin memperbanyak shalat 23 raka’at, 39 raka’at atau 41 raka’at. Namun, yang lebih utama adalah melakukannya sebanyak 11 raka’at sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Wallahu a’lam bi shawab.

Maraji’:

  1. Majalah Al Furqon Edisi 2 tahun II
  2. Majalah Al Furqon Edisi 1 tahun VII
  3. Kajian 4 Ramadhan 1429 H, kitab Majalis Syahri Ramadhan karya Syaikh Ibn Utsaimin oleh Ust. Aris Munandar
  4. Tahajud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sa’id bin’Ali bin Wahf a-Qathani. Media Hidayah cetakan ke-3
  5. Sifat Puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaih Salim bin Ied al-Hilaly & Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. al-Mubarok cetakan ke-4

***

Artikel www.muslimah.or.id

Ucapkanlah Salam, Jawablah Salam

Penyusun: Ummu Aiman
Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar

, betapa banyaknya umat muslim yang berpaling dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian menggantinya dengan kebiasaan orang-orang kafir. Lihatlah bagaimana kebiasaan mereka dalam berpakaian, berkata, tata cara makan, dan pola pikir yang sangat jauh dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun mirip kebiasaan orang-orang kafir.

Pembaca yang budiman, tidakkah kita pernah mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam golongan kaum tersebut.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Maka kita semestinya bersemangat dalam melakukan kebaikan dan menghidupkan serta menyuburkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saudariku seakidah, menebar salam antar umat muslim adalah salah satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya setiap diri menumbuhkan kebiasaan yag mulia ini pada diri sendiri dan lingkungannya.

Dalam Shahih Muslim (54) disebutkan: Dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidak dikatakan beriman sebelum kalian saling mencintai. Salah satu bentuk kecintaan adalah menebar salam antar sesama muslim.”

Di dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan diantara syarat masuk surga adalah keimanan kemudian menggantungkan keimanan dengan saling cinta-mencintai sesama muslim, dan itu semua tidak akan terwujud kecuali dengan salah satu caranya, yaitu menebarkan salam antara sesama muslim.

Definisi Salam

Ulama berbeda pendapat akan makna salam dalam kaliamat ‘Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu’. Berkata sebagian ulama bahwasanya salam adalah salah satu nama dari nama-nama Allah sehingga kalimat ‘Assalaamu ‘alaik’ berarti Allah bersamamu atau dengan kata lain engkau dalam penjagaan Allah. Sebagian lagi berpendapat bahwa makna salam adalah keselamatan sehingga maknanya ‘Keselamatan selalu menyertaimu’. Yang benar, keduanya adalah benar sehingga maknanya semoga Allah bersamamu sehingga keselamatan selalu menyertaimu.

Wajibnya Menjawab Salam

Para Ikwan seiman, jika ada yang mengucapkan salam kepada kita sedang kita dalam kondisi sendiri, maka kita wajib menjawabnya karena menjawab salam dalam kondisi tersebut hukumnya adalah fardu ‘ain. Sedang jika salam diucapkan pada suatu rombongan atau kelompok, maka hukum menjawabnya adalah fardu kifayah. Jika salah satu dari kelompok tersebut telah menjawab salam yang diucapkan kepada mereka, maka sudah cukup. Sedang hukum memulai salam adalah sunnah (dianjurkan) namun untuk kelompok hukumnya sunnah kifayah, jika sudah ada yang mengucapkan maka sudah cukup.

Dari Ali bin Abi Thalib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sudah mencukupi untuk suatu rombongan jika melewati seseorang, salah satu darinya mengucapkan salam.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)

Adab Mengucapkan Salam

1. Mengucapkannya Dengan Sempurna

Pembaca, semoga Allah merahmatiku dan merahmati kalian semua, sangat dianjurkan bagi kita untuk mengucapkan salam dengan sempurna, yaitu dengan mengucapkan, “Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu.”

Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Imran bin Hushain radiallau ‘anhu, ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan , ‘Assalaamu’alaikum’. Maka dijawab oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia duduk, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sepuluh’. Kemudian datang lagi orang yang kedua, memberi salam, ‘Assalaamu’alaikum wa Rahmatullaah.’ Setelah dijawab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ia pun duduk, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Dua puluh’. Kemudian datang orang ketiga dan mengucapkan salam: ‘Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa baraakaatuh’. Maka dijawab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia pun duduk dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tiga puluh’.” (Hadits Riwayat Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 986, Abu Dawud no. 5195, dan At-Tirmidzi no. 2689 dan beliau meng-hasankannya).

2. Memulai Salam Terlebih Dahulu

Para Ikhwan di jalan Allah, memulai mengucapkan salam kepada orang lain adalah sangat dianjurkan. Hendaknya yang lebih muda mengucapkan salam kepada yang lebih tua, yang lewat memberi salam kepada yang sedang duduk, dan yang sedikit mengucapkan salam kepada yang banyak, serta yang berkendaraan mengucapkan salam kepada yang berjalan. Hal tersebut sejalan dengan hadist dari Abu Hurairah. Pengucapan salam yang berkendaraan kepada yang berjalan adalah sebagai bentuk syukur dan salah satu keutamaannya adalah agar menghilangkan kesombongan.

Dalam hadits tersebut, bukan berarti bahwa apabila orang-orang yang diutamakan untuk memulai salam tidak melakukannya, kemudian gugurlah ucapan salam atas orang yang lebih kecil, atau yang tidak berkendaraan, dan semisalnya. Akan tetapi Islam tetap menganjurkan kaum muslimin mengucapkan salam kepada yang lainnya walaupun orang yang lebih dewasa kepada yang lebih muda atau pejalan kaki kepada orang yang berkendaraan, sebagaiman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Yang lebih baik dari keduanya adalah yang memulai salam.” (HR. Bukhori: 6065, Muslim: 2559)

Salah satu upaya menyebarkan salam diantar kaum muslimin adalah mengucapkan salam kepada setiap muslim, walaupun kita tidak mengenalnya.

Hal ini didasari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Dari ‘Abdullah bin Amr bin Ash radiallahu ‘anhuma, ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Islam bagaimana yang bagus?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau memberi makan ( kepada orang yang membutuhkan), mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.” (HR. Bukhori: 2636, Muslim: 39)

3. Mengulangi Salam Tatkala Berjumpa Lagi Walaupun Berselang Sesaat

Bagi seseorang yang telah mengucapkan salam kepada saudaranya, kemudian berpisah, lalu bertemu lagi walaupun perpisahan itu hanya sesaat, maka dianjurkan mengulang salamnya. Bahkan seandainya terpisah oleh suatu pohon lalu berjumpa lagi, maka dianjurkan mengucapkan salam, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila di antara kalian berjumpa dengan saudaranya, maka hendaklah mengucapkan salam kepadanya. Apabila terhalang oleh pohon, dinding, atau batu (besar), kemudian dia berjumpa lagi, maka hendaklah dia mengucapkan salam (lagi).” (HR. Abu Dawud: 4200, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Misykat al-Mashobih: 4650, dan lihat Silsilah Shohihah: 186)

4. Tidak Mengganggu Orang yang Tidur Dengan Salamnya

Dari Miqdad bin Aswad radiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Kami mengangkat jatah minuman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena beliau belum datang), kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam datang di malam hari, maka beliau mengucapkan salam dengan ucapan yang tidak sampai mengganggu/ membangunkan orang tidur dan dapat didengar orang yang tidak tidur, kemudian beliau masuk masjid dan sholat lalu datang (kepada kami) lalu beliau minum (minuman kami).” (HR. Timidzi: 2719 dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Adab Az-Zifaf hal. 167-196 cet. terbaru)

5. Tidak Memulai Ucapan Salam Kepada Orang Yahudi dan Nasrani

Dari Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian mengucapkan salam lebih dahulu kepada Yahudi dan Nashrani, dan bila kalian bertemu mereka pada suatu jalan maka desaklah mereka ke sisi jalan yang sempit.”

Hadits ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mulia dan unggul dari yang lainnya. Jika mereka mengucapkan salam kepada kita, maka balaslah salamnya dengan ucapan ‘Wa ‘alaikum’.

6. Berusaha Membalas Salam Dengan yang Lebih Baik atau Semisalnya

Maksudnya, tidak layak kita membalas salam orang lain dengan salam yang lebih sedikit. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya:

“Apabila kalian diberi salam/penghormatan, maka balaslah dengan yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa.” (QS. An-Nisa’: 86)

Kebiasaan Para Sahabat Berjabat Tangan

Adalah kebiasaan para sahabat jika mereka berjumpa maka saling berjabat tangan antar satu dengan yang lain. Maka apabila kita bertemu dengan seorang teman, cukupkanlah dengan berjabat tangan disertai dengan ucapan salam (Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa baraakaatuh) tanpa berpelukan kecuali ketika menyambut kedatangannya dari bepergian, karena memeluknya pada saat tersebut sangat dianjurkan. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radiallahu ‘anhu, ia berkata:

“Apabila sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saling berjumpa, maka mereka saling berjabat tangan dan apabila mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.” (HR. At-Tabrani dalam Al-Mu’jamul Ausath no. 97 dan Imam Al-Haitsami berkata dalam kitab Majma’uz Zawaa’id VIII/ 36, “Para perawinya adalah para perawi tsiqah.”)

Para Ikwan, yang berusaha meniti jalan kebenaran, hendaklah adab-adab di atas kita jaga. Kita berusaha untuk menanamkannya pada diri kita, memupuknya, memeliharanya serta mengajak orang lain kepadanya. Semoga Allah, Dzat yang membalas kebaikan sebesar dzarrah dengan kebaikan dan membalas keburukan sebesar dzarrah dengan keburukan memberikan kita keistiqamahan untuk senantiasa berjalan di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wa Allahu A’lam.

Maraji:

  1. Terjemah: Adab Harian Muslim Teladan. ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani. Pustaka Ibnu Katsir. Cetakan pertama. 2005.
  2. Majalah Al-Furqon Tahun 6 Edisi 7. Shofar 1428 H.
  3. Catatan Kajian ‘Kitabul Jami’ min Taudhiihul Ahkam min Buluughul Maraam’.

***

Artikel www.muslimah.or.id

Keutamaan Bahasa Arab

Tidak perlu diragukan lagi, memang sepantasnya seorang muslim mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Allah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah ta’ala:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”

Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2 di atas: “Yang demikian itu (bahwa Al -Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada rosul yang paling mulia (yaitu: Rosulullah), dengan bahasa yang termulia (yaitu Bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia diatas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Romadhan), sehingga Al-Qur an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir surat Yusuf).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata: “Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-sunnah), serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab, maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Allah dan menegakkan syi’ar-syi’ar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Sungguh sangat menyedihkan sekali, apa yang telah menimpa kaum muslimin saat ini, hanya segelintir dari mereka yang mau mempelajari bahasa Arab dengan serius. Hal ini memang sangat wajar karena di zaman modern ini banyak sekali kaum muslimin tenggelam dalam tujuan dunia yang fana, Sehingga mereka enggan dan malas mempelajari bahasa Arab. Karena mereka tahu tidak ada hasil duniawi yang bisa diharapkan jika pandai berbahasa Arab. Berbeda dengan mempelajari bahasa Inggris, kaum muslimin di saat ini begitu semangat sekali belajar bahasa Inggris, karena mereka tahu banyak tujuan dunia yang bisa diperoleh jika pandai bahasa Inggris, sehingga kita dapati mereka rela untuk meluangkan waktu yang lama dan biaya yang banyak untuk bisa menguasai bahasa ini. Sehingga kursus-kursus bahasa Inggris sangat laris dan menjamur dimana-mana walaupun dengan biaya yang tak terkira. Namun bagaimana dengan kursus bahasa Arab…??? seandainya mereka benar-benar yakin terhadap janji Allah ta’ala untuk orang yang menyibukkan diri untuk mencari keridhoanNya, serta yakin akan kenikmatan surga dengan kekekalannya, niscaya mereka akan berusaha keras untuk mempelajari bahasa arab. Karena ia adalah sarana yang efektif untuk memahami agama-Nya.

Kenyataan ini tidak menunjukkan larangan mempelajari bahasa Inggris ataupun lainnya. Tapi yang tercela adalah orang yang tidak memberikan porsi yang adil terhadap bahasa arab. Seyogyanya mereka juga bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari bahasa Arab.

Syaikh Utsaimin pernah ditanya: “Bolehkah seorang penuntut ilmu mempelajari bahasa Inggris untuk membantu dakwah ?” Beliau menjawab: “Aku berpendapat, mempelajari bahasa Inggris tidak diragukan lagi merupakan sebuah sarana. Bahasa Inggris menjadi sarana yang baik jika digunakan untuk tujuan yang baik, dan akan menjadi jelek jika digunakan untuk tujuan yang jelek. Namun yang harus dihindari adalah menjadikan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab karena hal itu tidak boleh. Aku mendengar sebagian orang bodoh berbicara dengan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab, bahkan sebagian mereka yang tertipu lagi mengekor (meniru-niru), mengajarkan anak-anak mereka ucapan “selamat berpisah” bukan dengan bahasa kaum muslimin. Mereka mengajarkan anak-anak mereka berkata “bye-bye” ketika akan berpisah dan yang semisalnya. Mengganti bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an dan bahasa yang paling mulia, dengan bahasa Inggris adalah haram. Adapun menggunakan bahasa Inggris sebagai sarana untuk berdakwah maka tidak diragukan lagi kebolehannya bahwa kadang-kadang hal itu bisa menjadi wajib. Walaupun aku tidak mempelajari bahasa Inggris namun aku berangan-angan mempelajarinya. terkadang aku merasa sangat perlu bahasa Inggris karena penterjemah tidak mungkin bisa mengungkapkan apa yang ada di hatiku secara sempurna.” (Kitabul ‘Ilmi).

Dan termasuk hal yang sangat menyedihkan, didapati seorang muslim begitu bangga jika bisa berbahasa Inggris dengan fasih namun mengenai bahasa Arab dia tidak tahu?? Kalau keadaannya sudah seperti ini bagaimana bisa diharapkan Islam maju dan jaya seperti dahulu. Bagaimana mungkin mereka bisa memahami syari’at dengan benar kalau mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab…???

Hukum Orang Yang Mampu Berbahasa Arab Namun Berbicara Menggunakan Bahasa Selain Bahasa Arab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata: “Dibenci seseorang berbicara dengan bahasa selain bahasa Arab karena bahasa Arab merupakan syiar Islam dan kaum muslimin. Bahasa merupakan syiar terbesar umat-umat, karena dengan bahasa dapat diketahui ciri khas masing-masing umat.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Asy-Syafi’iy berkata sebagaimana diriwayatkan As-Silafi dengan sanadnya sampai kepada Muhammad bin Abdullah bin Al Hakam, beliau berkata: “Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-syafi’iy berkata: “Allah menamakan orang-orang yang mencari karunia Allah melalui jual beli (berdagang) dengan nama tu’jar (tujjar dalam bahasa Arab artinya para pedagang-pent), kemudian Rosululloh juga menamakan mereka dengan penamaan yang Allah telah berikan, yaitu (tujjar) dengan bahasa arab. Sedangkan “samasiroh” adalah penamaan dengan bahasa `ajam (selain arab). Maka kami tidak menyukai seseorang yang mengerti bahasa arab menamai para pedagang kecuali dengan nama tujjar dan janganlah orang tersebut berbahasa Arab lalu dia menamakan sesuatu (apapun juga-pent) dengan bahasa `ajam. Hal ini karena bahasa Arab adalah bahasa yang telah dipilih oleh Allah, sehingga Allah menurunkan kitab-Nya yang dengan bahasa Arab dan menjadikan bahasa Arab merupakan bahasa penutup para Nabi, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kami katakan seyogyanya setiap orang yang mampu belajar bahasa Arab mempelajarinya, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling pantas dicintai tanpa harus melarang seseorang berbicara dengan bahasa yang lain. Imam Syafi’iy membenci orang yang mampu berbahasa Arab namun dia tidak berbahasa Arab atau dia berbahasa Arab namun mencampurinya dengan bahasa `ajam.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Abu Bakar bin ‘Ali Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushanaf: “Dari Umar bin Khattab, beliau berkata: Tidaklah seorang belajar bahasa Persia kecuali menipu, tidaklah seseorang menipu kecuali berkurang kehormatannya. Dan Atho’ (seorang tabi’in) berkata: Janganlah kamu belajar bahasa-bahasa ajam dan janganlah karnu masuk gereja - gereja mereka karena sesungguhnya Allah menimpakan kemurkaan-Nya kepada mereka, (Iqtidho Shirotil Mustaqim). Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad berkata: “Tanda keimanan pada orang ‘ajam (non arab) adalah cintanya terhadap bahasa arab.” Dan adapun membiasakan berkomunikasi dengan bahasa selain Arab, yang mana bahasa Arab merupakan syi’ar Islam dan bahasa Al-Qur’an, sehingga bahasa selain arab menjadi kebiasaan bagi penduduk suatu daerah, keluarga, seseorang dengan sahabatnya, para pedagang atau para pejabat atau bagi para karyawan atau para ahli fikih, maka tidak disangsikan lagi hal ini dibenci. Karena sesungguhnya hal itu termasuk tasyabuh (menyerupai) dengan orang `ajam dan itu hukumnya makruh.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Khurasan, yang penduduk kedua kota tersebut berbahasa Persia serta menduduki Maghrib, yang penduduknya berbahasa Barbar, maka kaum muslimin membiasakan penduduk kota tersebut untuk berbahasa Arab, hingga seluruh penduduk kota tersebut berbahasa Arab, baik muslimnya maupun kafirnya. Demikianlah Khurasan dahulu kala. Namun kemudian mereka menyepelekan bahasa Arab, dan mereka kembali membiasakan bahasa Persia sehingga akhirnya menjadi bahasa mereka. Dan mayoritas mereka pun menjauhi bahasa Arab. Tidak disangsikan lagi bahwa hal ini adalah makruh. (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Pengaruh Bahasa Arab Dalam Kehidupan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Merupakan metode yang baik adalah membiasakan berkomunikasi dengan bahasa Arab hingga anak kecil sekalipun dilatih berbahasa Arab di rumah dan di kantor, hingga nampaklah syi’ar Islam dan kaum muslimin. Hal ini mempermudah kaum muslimin urituk memahami makna Al-Kitab dan As-Sunnah serta perkataan para salafush shalih. Lain halnya dengan orang yang terbiasa berbicara dengan satu bahasa lalu ingin pindah ke bahasa lain maka hal itu sangat sulit baginya. Dan ketahuilah…!!! membiasakan berbahasa Arab sangat berpengaruh terhadap akal, akhlak dan agama. Juga sangat berpengaruh dalam usaha mencontoh mereka dan memberi dampak positif terhadap akal, agama dan tingkah laku.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahasa Arab memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan, akhlak, agama. Orang yang pandai bahasa Arab cenderung senang membaca kitab-kitab para ulama yang berbahasa Arab dan tentu senang juga membaca dan menghafal Al-Qur’an serta hadits-hadits Rasulullah. Sehingga hal ini bisa memperbagus akhlak dan agamanya. Berbeda dengan orang yang pandai berbahasa Inggris (namun tanpa dibekali dengan ilmu agama yang baik), dia cenderung senang membaca buku berbahasa Inggris yang jelas kebanyakannya merupakan karya orang kafir. Sehingga mulailah ia mempelajari kehidupan orang kafir sedikit demi sedikit. Mau tidak mau iapun harus mempelajari cara pengucapan dan percakapan yang benar melalui mereka, agar dia bisa memperbagus bahasa Inggrisnya. Bisa jadi akhirnya ia pun senang mempelajari dan menghafal lagu-lagu berbahasa Inggris (yang kebanyakan isinya berisi maksiat) dan tanpa sadar diapun mengidolakan artis atau tokoh barat serta senang mengikuti gaya-gaya mereka. Akhlaknya pun mulai meniru akhlak orang barat (orang kafir), dan mengagungkan orang kafir serta takjub pada kehebatan mereka. Akhirnya, diapun terjatuh dalam tasyabbuh (meniru-niru) terhadap orang kafir, menganggap kaum muslimin terbelakang dan ujung-ujungnya dia lalai dari mempelajari Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hukum Mempelajari Bahasa Arab

Syaikhul Islam Berkata: “Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa difahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah:

مَا لاَ يَتِمٌّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”

Namun disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khattab menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya) “…Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.”

Dan pada riwayat lain, Beliau (Umar bin Khattab) berkata: “Pelajarilah bahasa Arab sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian, dan belajarlah faroidh (ilmu waris) karena sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Penutup

Bahasa Arab adalah bahasa Agama Islam dan bahasa Al-Qur’an, seseorang tidak akan dapat memahami kitab dan sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan) kecuali dengan bahasa Arab. Menyepelekan dan menggampangkan Bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami agama serta jahil (bodoh) terhadap permasalahan agama.

Sungguh sangat ironis dan menyedihkan, sekolah-sekolah dinegeri kita, bahasa Arab tersisihkan oleh bahasa-bahasa lain, padahal mayoritas penduduk negeri kita adalah beragama Islam, sehingga keadaan kaum muslimin dinegeri ini jauh dari tuntunan Allah ta’ala dan Rasul-Nya.

Maka seyogyanya anda sekalian wahai penebar kebaikan… mempunyai andil dan peran dalam memasyarakatkan serta menyadarkan segenap lapisan masyarakat akan pentingya bahasa Al Qur’an ini, dengan segala kemampuan yang dimiliki, semoga Allah menolong kaum muslimin dan mengembalikan mereka kepada ajaran Rasul-Nya yang shohih. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah ta’ala. Segala puji hanyalah bagi Allah Tuhan semesta alam.

***

Penyusun: Tim Bahasa Arab Online

 

blogger templates | Make Money Online